16 November 2008

Islam dan Pesan Damai

Serangan terhadap menara kembar WTC di New York (11/9/01) yang segera diikuti dengan proyek George W. Bush berlabel perang global melawan terorisme serentak mengubah wajah dunia. Dunia menjadi hunian yang tak lagi pernah aman. Atas nama perang melawan terorisme, pengerahan kekuatan militer diabsahkan dan beberapa negara ditumbangkan. Ironisnya, proyek global ini seolah menempatkan seluruh umat Islam di dunia duduk di kursi pesakitan sebagai pihak yang bersalah. Padahal pelaku serangan WTC hanyalah segelintir kecil teroris yang kebetulan beragama Islam. Lantas, di mana posisi Islam dalam persoalan perdamaian, atau Islam bicara apa soal perdamaian?

Tugas utama Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT adalah menebarkan kasih sayang kepada semesta alam (rahmatan lil alamiin) sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an. Tentu saja, kasih sayang (rahmat) tidak dapat ditebarkan dengan meretakkan kedamaian, apalagi dengan perang. Karena itu, ajaran Islam di samping banyak menekankan keadilan juga penuh dengan anjuran untuk membangun kedamaian. Dalam salah satu hadistnya, Nabi Muhammad berkata, afsyuu al-salaam wa shil al-arhaam, artinya tebarkanlah kedamaian dan rekatkan kekerabatan.

Semangat membangun kedamaian ini juga mewujud dalam model-model dakwah (misi) yang diterapkan dalam Islam. Al Qur’an menggariskan dakwah harus dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan (hikmah), dengan petuah yang bagus dan adu argumentasi dengan cara yang santun pula.[1] Pesan Al Qur’an inilah yang juga dijalankan oleh para pedagang Gujarat yang membawa agama Islam ke Indonesia dan dilanjutkan dengan dakwah-dakwah Wali Songo pada masa-masa berikutnya.

Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga di Demak, misalnya dengan memperkenalkan Islam melalui media wayang dan gamelan, merupakan model pendekatan yang simpatik dan jauh dari kekerasan. Tradisi ini pula yang kemudian menjadi karakter yang dipertahankan dan dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia hingga sekarang seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Karenanya tak heran jika corak keislaman yang berkembang dalam masyarakat Indonesia ratusan tahun adalah Islam yang ramah. Agak berbeda misalnya dengan Islam yang berkembang di belahan dunia lain, utamanya pada masyarakat yang selalu berkubang dalam konflik sosial-politik.

Sebagai organisasi Islam terbesar, watak keagamaan ala NU yang moderat menjadi cermin watak keislaman mainstream umat Islam di Indonesia. Dan bukan kebetulan karakter ini merasuk dalam sikap keberagamaan nahdliyyin (warga NU). Karena itu, sikap keberagamaan mereka yang dilandaskan pada prinsip-prinsip tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar terus-menerus dibangun dan dijaga.

Secara ringkas prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

§ Tawassuth (moderat) dan i’tidal (tegak): sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).

§ Tasamuh (toleran): sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebudayaan.

§ Tawazun (seimbang): berlaku seimbang antara pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan. Juga menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini, dan akan datang.

§ Amar ma’ruf nahi munkar: selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah segala hal yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia yang majemuk dalam agama, keyakinan, dan tradisi, NU merumuskan pola hubungan yang relevan dengan keragaman. Ini selaras dengan ketentuan yang diajarkan oleh Nabi dalam Islam mengenai persaudaraan. Ada tiga macam pola hubungan yang dikembangkan di NU yang disebut sebagai ukhuwwah (persaudaraan), yakni ukhuwwah Islamiyyah, ukhuwwah wathoniyyah, dan ukhuwwah basyariah.

Ukhuwwah Islamiyyah artinya kekerabatan keislaman, di mana orang Islam harus membangun persaudaraan antarmuslim atas dasar kesamaan imannya, karena sesama muslim adalah saudara. Ukhuwwah wathoniyyah artinya kekerabatan kebangsaan, di mana orang Islam harus membangun persaudaraan dengan sesama bangsa, apa pun latar belakang agama dan keyakinannya. Dan, ukhuwwah basyariah berarti kekerabatan kemanusiaan. Ini adalah persaudaraan universal yang menyangkut seluruh umat manusia tanpa dibedakan oleh apa pun juga.

Dengan tiga macam model kekerabatan ini sebenarnya tidak ada ruang bagi umat Islam untuk bertikai dengan siapapun, apalagi karena alasan perbedaan agama atau atas nama agama. Dalam pengertian semacam ini pertikaian dan konflik bukanlah jalan yang dipilih, apalagi sebagai solusi atas problem yang dihadapi oleh umat. Pertikaian dan konflik adalah ‘kecelakaan’ yang hanya mungkin terjadi jika ada masalah serius menimpa jalan yang normal, dan dilakukan karena darurat atau terpaksa.

Ayat-ayat dalam Al Qur’an yang berbicara mengenai perang mengangkat senjata hanya diperbolehkan setidaknya untuk dua alasan, yakni untuk membela diri jika diserang dan membebaskan kelompok marginal dari kezaliman yang menimpa mereka, sebagaimana disebutkan dalam surah Al Baqoroh 190 dan An Nisa 75.[2] Itu pun tidak boleh dilakukan secara berlebih-lebihan, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Inilah sebagian kecil dari jihad (berjuang) di jalan Allah.

Sekilas tentang jihad

Apa yang selama ini dipropagandakan sebagai jihad dengan konotasi ‘menyeramkan’ sebagai kebolehan mengangkat senjata terhadap orang yang berbeda keyakinan adalah jauh dari pengertian jihad yang diajarkan dalam Islam. Perang hanya sebagian dari pengertian yang dicakup oleh kata jihad. Itu pun sebagaimana dijelaskan di atas harus atas dasar yang kuat dan tidak adanya jalan lain yang lebih normal.

Jihad (Arab) berasal dari akar kata jahada yang artinya bersungguh-sungguh. Dalam term agama Islam, jihad mencakup sekurang-kurangnya tiga pengertian. Pertama, bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu dalam diri dan hati. Intinya menempa diri dalam menghilangkan kecenderungan jahat dan perilaku negatif dari hati (semacam laku asketisme). Kedua, bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kapasitas diri, khususnya bidang keilmuan dan intelektualitas (ijtihad). Ketiga, jihad dalam arti menegakkan kebenaran, keadilan, membela diri, dan membebaskan kelompok tertindas dari kezaliman, termasuk jika terpaksa dilakukan dengan mengangkat senjata.

Keluasan pengertian jihad inilah yang selama ini tereduksi menjadi pengertian sempit yang justru merugikan upaya-upaya membangun perdamaian semesta sebagaimana diajarkan dalam ukhuwwah basyariah, kekerabatan kemanusiaan. Semoga dengan ini kita menjadi lebih arif.***

Muhammad S. Wa’i: Staff Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Pusat di Jakarta.

Glossari Kecil

Al-Baqoroh: nama salah satu surat dalam Al Qur’an

An-Nisa: nama salah satu surat dalam Al Qur’an

An-Nahl: nama salah satu surat dalam Al Qur’an

Amar ma’ruf nahi munkar: memerintahkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk (arti harfiah)

I’tidal: berlaku adil

Jihad: berjuang atau bersungguh-sungguh (arti harfiah)

nahdliyyin: warga atau simpatisan organisasi NU

rahmatan lil alamiin: rahmat bagi semesta

Tawassuth: moderat

Tasamuh: toleran

Tawazun: berlaku seimbang

ukhuwwah Islamiyyah: persaudaraan/kekerabatan keislaman

ukhuwwah wathoniyyah: persaudaraan/kekerabatan kebangsaan

ukhuwwah basyariah: persaudaraan/kekerabatan kemanusiaan



[1] Q.S. An-Nahl 125, yang artinya: “Ajaklah ke jalan Allah dengan penuh kebijaksanaan, petuah yang bagus, dan berdebatlah dengan cara yang santun.”

[2] Q.S. Al Baqoroh 190, artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Q.S. An Nisa 75, artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah?”

No comments: