16 November 2008

Islam dan Pesan Damai

Serangan terhadap menara kembar WTC di New York (11/9/01) yang segera diikuti dengan proyek George W. Bush berlabel perang global melawan terorisme serentak mengubah wajah dunia. Dunia menjadi hunian yang tak lagi pernah aman. Atas nama perang melawan terorisme, pengerahan kekuatan militer diabsahkan dan beberapa negara ditumbangkan. Ironisnya, proyek global ini seolah menempatkan seluruh umat Islam di dunia duduk di kursi pesakitan sebagai pihak yang bersalah. Padahal pelaku serangan WTC hanyalah segelintir kecil teroris yang kebetulan beragama Islam. Lantas, di mana posisi Islam dalam persoalan perdamaian, atau Islam bicara apa soal perdamaian?

Tugas utama Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT adalah menebarkan kasih sayang kepada semesta alam (rahmatan lil alamiin) sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an. Tentu saja, kasih sayang (rahmat) tidak dapat ditebarkan dengan meretakkan kedamaian, apalagi dengan perang. Karena itu, ajaran Islam di samping banyak menekankan keadilan juga penuh dengan anjuran untuk membangun kedamaian. Dalam salah satu hadistnya, Nabi Muhammad berkata, afsyuu al-salaam wa shil al-arhaam, artinya tebarkanlah kedamaian dan rekatkan kekerabatan.

Semangat membangun kedamaian ini juga mewujud dalam model-model dakwah (misi) yang diterapkan dalam Islam. Al Qur’an menggariskan dakwah harus dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan (hikmah), dengan petuah yang bagus dan adu argumentasi dengan cara yang santun pula.[1] Pesan Al Qur’an inilah yang juga dijalankan oleh para pedagang Gujarat yang membawa agama Islam ke Indonesia dan dilanjutkan dengan dakwah-dakwah Wali Songo pada masa-masa berikutnya.

Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga di Demak, misalnya dengan memperkenalkan Islam melalui media wayang dan gamelan, merupakan model pendekatan yang simpatik dan jauh dari kekerasan. Tradisi ini pula yang kemudian menjadi karakter yang dipertahankan dan dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia hingga sekarang seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Karenanya tak heran jika corak keislaman yang berkembang dalam masyarakat Indonesia ratusan tahun adalah Islam yang ramah. Agak berbeda misalnya dengan Islam yang berkembang di belahan dunia lain, utamanya pada masyarakat yang selalu berkubang dalam konflik sosial-politik.

Sebagai organisasi Islam terbesar, watak keagamaan ala NU yang moderat menjadi cermin watak keislaman mainstream umat Islam di Indonesia. Dan bukan kebetulan karakter ini merasuk dalam sikap keberagamaan nahdliyyin (warga NU). Karena itu, sikap keberagamaan mereka yang dilandaskan pada prinsip-prinsip tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar terus-menerus dibangun dan dijaga.

Secara ringkas prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

§ Tawassuth (moderat) dan i’tidal (tegak): sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).

§ Tasamuh (toleran): sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebudayaan.

§ Tawazun (seimbang): berlaku seimbang antara pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan. Juga menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini, dan akan datang.

§ Amar ma’ruf nahi munkar: selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah segala hal yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia yang majemuk dalam agama, keyakinan, dan tradisi, NU merumuskan pola hubungan yang relevan dengan keragaman. Ini selaras dengan ketentuan yang diajarkan oleh Nabi dalam Islam mengenai persaudaraan. Ada tiga macam pola hubungan yang dikembangkan di NU yang disebut sebagai ukhuwwah (persaudaraan), yakni ukhuwwah Islamiyyah, ukhuwwah wathoniyyah, dan ukhuwwah basyariah.

Ukhuwwah Islamiyyah artinya kekerabatan keislaman, di mana orang Islam harus membangun persaudaraan antarmuslim atas dasar kesamaan imannya, karena sesama muslim adalah saudara. Ukhuwwah wathoniyyah artinya kekerabatan kebangsaan, di mana orang Islam harus membangun persaudaraan dengan sesama bangsa, apa pun latar belakang agama dan keyakinannya. Dan, ukhuwwah basyariah berarti kekerabatan kemanusiaan. Ini adalah persaudaraan universal yang menyangkut seluruh umat manusia tanpa dibedakan oleh apa pun juga.

Dengan tiga macam model kekerabatan ini sebenarnya tidak ada ruang bagi umat Islam untuk bertikai dengan siapapun, apalagi karena alasan perbedaan agama atau atas nama agama. Dalam pengertian semacam ini pertikaian dan konflik bukanlah jalan yang dipilih, apalagi sebagai solusi atas problem yang dihadapi oleh umat. Pertikaian dan konflik adalah ‘kecelakaan’ yang hanya mungkin terjadi jika ada masalah serius menimpa jalan yang normal, dan dilakukan karena darurat atau terpaksa.

Ayat-ayat dalam Al Qur’an yang berbicara mengenai perang mengangkat senjata hanya diperbolehkan setidaknya untuk dua alasan, yakni untuk membela diri jika diserang dan membebaskan kelompok marginal dari kezaliman yang menimpa mereka, sebagaimana disebutkan dalam surah Al Baqoroh 190 dan An Nisa 75.[2] Itu pun tidak boleh dilakukan secara berlebih-lebihan, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Inilah sebagian kecil dari jihad (berjuang) di jalan Allah.

Sekilas tentang jihad

Apa yang selama ini dipropagandakan sebagai jihad dengan konotasi ‘menyeramkan’ sebagai kebolehan mengangkat senjata terhadap orang yang berbeda keyakinan adalah jauh dari pengertian jihad yang diajarkan dalam Islam. Perang hanya sebagian dari pengertian yang dicakup oleh kata jihad. Itu pun sebagaimana dijelaskan di atas harus atas dasar yang kuat dan tidak adanya jalan lain yang lebih normal.

Jihad (Arab) berasal dari akar kata jahada yang artinya bersungguh-sungguh. Dalam term agama Islam, jihad mencakup sekurang-kurangnya tiga pengertian. Pertama, bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu dalam diri dan hati. Intinya menempa diri dalam menghilangkan kecenderungan jahat dan perilaku negatif dari hati (semacam laku asketisme). Kedua, bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kapasitas diri, khususnya bidang keilmuan dan intelektualitas (ijtihad). Ketiga, jihad dalam arti menegakkan kebenaran, keadilan, membela diri, dan membebaskan kelompok tertindas dari kezaliman, termasuk jika terpaksa dilakukan dengan mengangkat senjata.

Keluasan pengertian jihad inilah yang selama ini tereduksi menjadi pengertian sempit yang justru merugikan upaya-upaya membangun perdamaian semesta sebagaimana diajarkan dalam ukhuwwah basyariah, kekerabatan kemanusiaan. Semoga dengan ini kita menjadi lebih arif.***

Muhammad S. Wa’i: Staff Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Pusat di Jakarta.

Glossari Kecil

Al-Baqoroh: nama salah satu surat dalam Al Qur’an

An-Nisa: nama salah satu surat dalam Al Qur’an

An-Nahl: nama salah satu surat dalam Al Qur’an

Amar ma’ruf nahi munkar: memerintahkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk (arti harfiah)

I’tidal: berlaku adil

Jihad: berjuang atau bersungguh-sungguh (arti harfiah)

nahdliyyin: warga atau simpatisan organisasi NU

rahmatan lil alamiin: rahmat bagi semesta

Tawassuth: moderat

Tasamuh: toleran

Tawazun: berlaku seimbang

ukhuwwah Islamiyyah: persaudaraan/kekerabatan keislaman

ukhuwwah wathoniyyah: persaudaraan/kekerabatan kebangsaan

ukhuwwah basyariah: persaudaraan/kekerabatan kemanusiaan



[1] Q.S. An-Nahl 125, yang artinya: “Ajaklah ke jalan Allah dengan penuh kebijaksanaan, petuah yang bagus, dan berdebatlah dengan cara yang santun.”

[2] Q.S. Al Baqoroh 190, artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Q.S. An Nisa 75, artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah?”

Jangan Telanjangi Ibu Kami

Tanggal 23 Mei 2007, JPIC-OFM Indonesia menerima surat dari Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL) yang berisi permohonan dukungan advokasi bagi masyarakat Lembata yang gelisah dan resah terkait rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata membangun industri pertambangan terpadu di Pulau Lembata. Menanggapi surat tersebut, JPIC-OFM mengutus dua staff untuk melakukan investigasi di wilayah-wilayah yang menjadi prospek tambang yaitu Kec. Omesuri, Buyasuri dan Lebatukan. Investigasi berlangsung dari tanggal 24 Juni 2007 – 11 Juli 2007. Investigasi dilakukan dengan cara: mewawancarai Pejabat Pemerintah, tokoh masyarakat, tetua adat, aparat pemerintah desa dan masyarakat.

Lembata Kaya Bahan Tambang
               Pulau Lembata, dulu orang mengenalnya “Pulau Lomblen” menyimpan banyak potensi bahan tambang. Tak heran kalau Lembata menjadi lirikan banyak investor untuk melakukan investasi bidang pertambangan di Lembata. Sebut misalnya, PT. Baroit Indonesia, PT. Sumber Alam Lembata, PT. Nusa Lontar Mining, dan masih ada perusahaan lainnya yang sudah datang ke Lembata baik hanya untuk menyelidiki maupun untuk menambang. Dari hasil penelitian terungkap bahwa di bawah perut bumi Lembata terdapat kandungan mineral seperti tembaga, timah hitam, seng, emas, perak dan mangan. merupakan kandungan mineral yang terpendam di Lembata. Belakangan berdasarkan penyelidikan PT. Pukuafu Indah (anak perusahaan PT. Merukh Enterprises) kandungan mineral tersebut menyebar di tiga kecamatan di Kab. Lembata yaitu kec. Lebatukan, Omesuri dan Beasuri. 
               Rupa-rupanya Pemkab Lembata tergiur dengan potensi bahan galian yang ada tersebut. Karena itu dalam program pembangunannya, Bupati Lembata mencantumkan investasi di bidang pertambangan menjadi program strategis yang harus dikembangkan untuk membangun Lembata ke arah yang lebih baik. Rencana membuka industri pertambangan mulai direalisasikan dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Pemkab Lembata atas nama Bupati Andreas Duli Manuk dengan PT. Merukh Enterprisess tanggal 12 November 2005. Menariknya penandatangan MoU ini tanpa sepengetahuan pihak DPRD Lembata. Merasa dilangkahi, Ketua DPRD Lembata Peter Boliona Keraf  menanyakan soal penandanganan MoU itu kepada Bupati. Singkat cerita pada tanggal 28 Agustus 2007 Bupati Andreas Duli Manuk dan Ketua DPRD Kabupaten Lembata Petrus Boliona Keraf bersama-sama menandatangani rekomendasi untuk PT. Pukuafu Indah dan PT. Kupfer Produkte GmbH Germany dalam mendapatkan kontrak karya pertambangan dari Menteri Pertambangan dan Energi tanpa melalui mekanisme pleno DPRD sebagai pengambil keputusan tertinggi di Dewan. Dengan adanya penandatangan rekomendasi ini memberi sinyal jelas bahwa dua kekuatan yang berada di Kab. Lembata: eksekutif dan legislatif telah membuka ruang bagi terwujudnya pembangunan industri pertambangan di Lembata.
 
 
Meningkatkan Keuangan Daerah
               Di era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki daerah. Bagi Pemkab Lembata investasi dibidang pertambangan merupakan salah satu cara yang dapat meningkatkan keuangan daerah karena bidang-bidang lain seperti pertanian, kelautan, kehutanan dan pariwisata dinilai belum cukup memberi sumbangan berarti bagi meningkatnya keuangan daerah. Wakil Bupati Lembata Andreas Nula Liliweri saat diwawancarai tim investigasi JPIC OFM menilai rencana pertambangan merupakan usaha pemerintah meningkatkan keuangan daerah. Pernyataan Wakil Bupati Lembata ini dipertegas oleh Kabag Ekonomi Lembata, Longginus Lega. Menurut Kabag Ekonomi, selama enam tahun sejak Lembata menjadi Kabupaten tersendiri, pendapatan asli daerah Lembata tidak begitu significant. Rencana industri pertambangan akan menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan keuangan daerah secara signifikan. 
               Persoalan muncul ketika keinginan pemerintah ini terbentur dengan sikap penolakan dari masyarakat terhadap rencana itu. Masyarakat yang tanahnya menjadi titik bidik untuk pertambangan mempertanyakan apakah hanya untuk meningkatkan keuangan daerah harus mengorbankan rakyat, tanah, hak ulayat, hutan, laut dan kehidupan masyarakat? Mereka juga mengungkapkan keragu-raguannya kepada Bupati Lembata yang begitu gampang mengambil kebijakan tanpa pertimbangan yang matang. Bupati sepertinya lebih mementingkan ambisi pribadinya daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan rencana pertambangan dinilai sebagai sikap ketidakmampuan pemerintah untuk memajukan Lembata. Tambang tidak dikerjakan oleh pemerintah tapi pengusaha. Artinya keuntungan lebih besar pasti ada ditangan perusahaan itu.

Masyarakat Menolak Industri Pertambangan

Pemerintah boleh punya kebijakan dan keputusan. Tapi kebijakan dan keputusan itu seharusnya melibatkan masyararakat akar rumput yang menjadi subjek pembangunan. Penting melibatkan masyarakat karena merekalah yang secara langsung akan merasakan dampak lingkungan. Kesaksian warga di lokasi bakal tambang yang ditemui tim investigasi JPIC OFM mengungkapkan bahwa rencana dibukanya industri pertambangan di Lembata tidak disosialisasikan secara maksimal di masyarakat akar rumput. Bahkan ada yang menyatakan Bupati Andreas Duli Manuk hanya menjanjikan saja untuk datang ke kampung mereka untuk melakukan sosialisasi. Namun janji itu hanya tinggal janji tidak pernah terwujudkan. Sementara di media massa mereka mendengar berita bahwa Bupati, dinas-dinas terkait dan anggota DPRD Lembata pergi ke Jakarta untuk bicara soal rencana itu dengan perusahaan.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan masyarakat kepada pemerintah, bagi masyarakat yang wilayahnya menjadi sasaran dibukanya pertambangan menilai pertambangan hanya akan membawa kehancuran bagi masyarakat dan hal ini sangat bertentangan dengan pengetahuan mereka akan makna tanah (alam) yang sudah diwariskan dan diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Karena itulah secara tegas masyarakat menolak rencana pertambangan itu. Beberapa alasan yang kiranya melatarbelakangi sikap penolakan masyarakat ialah pertama, pemerintah lebih banyak bicara keuntungan pertambangan, namun tidak siap menghadapi dampaknya. Dalam sosialisasi yang terbatas hanya pada camat, kepala desa, BPD pemerintah lebih banyak menjelaskan tentang keuntungan pertambangan. Sementara dampak buruk pertambangan tidak dijelaskan. Pemerintah hanya menghimbau masyarakat supaya jangan memikirkan dampak buruk pertambangan, tapi pikirkan saja kesejahteraan rakyat. Ada juga penjelasan yang menggelikan masyarakat bahwa limbah-limbah tambang bisa diolah menjadi minuman segar dan lapangan golf bagi masyarakat???Sebuah pembohongan.

Kedua, masyarakat hidup bukan dari emas, tetapi dari lahan pertanian. Masyarakat Lembata ialah masyarakat agraris. Mereka mengungkapkan bahwa emas hasil dari pertambangan tidak akan pernah menghilangkan rasa lapar dan dahaga, emas tidak memberi mereka kehidupan. Pertambangan justru akan membawa kehancuran bagi kehidupan mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak program pemerintah. Sebaliknya mereka melakukan apa yang menjadi program pemerintah. Tapi untuk program pertambangan mereka dengan tegas menolaknya.

Ketiga, pertambangan menghancurkan tanah, laut, dan ikatan dengan leluhur. Akibat pertambangan sebenarnya sudah pernah dirasakan oleh masyarakat di Atanila. Tahun 1984-1994, PT. Baroit Indonesia dan PT Sumber Alam Lembata pernah menambang Baroit di Atanila. Menurut warga di Atanila kehadiran dua perusahaan itu tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, kehadiran mereka justru menghancurkan alam dan lingkungan hidup mereka. Yang paling tragis ialah satu-satunya sumber air minum masyarakat tercemar belerang. Warga terpaksa minum air itu walau dilarang karena sangat mengganggu kesehatan. Tapi masyarakat tetap meminumnya karena hanya itu satu-satunya sumber mata air. Inilah yang menggelisahkan dan menakutkan masyarakat. Mereka tidak ingin pengalaman masa lalu yang masih mereka alami hingga sekarang ini terulang kembali. Rencana pertambangan di depan mata akan mengancam seluruh kehidupan mereka.

Tanah ialah ibu bumi

Alasan lain yang menjadi akar dari seluruh penolakan masyarakat terhadap rencana pertambangan ialah keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan arti penting tanah sebagai ibu mereka yang tidak boleh dibongkar-bangkir dan diperjualbelikan. Menjual tanah sama halnya dengan menanggalkan kain sarung ibu dan menanggalkan celana ayah mereka. Beginilah masyarakat Lembata, seperti yang diungkapkan salah seorang tua adat di Leragere, memaknai tanah dan alam mereka sebagai ibu yang memberi mereka kehidupan.

“Wahai kampung halaman beserta nama-nama tugu batu kekuatanmu, kampung yang hijau, tanah nan permai, kampung tua, tanah yang kian uzur, ibu yang merawat, ayah yang melindungi, ibu yang memperhatikan, ayah yang menopang, ibu yang memberi, ayah yang menatang. Kami menolak pertambangan di sini karena sejak dulu tanah ini telah melahirkan leluhur, kami sendiri serta anak cucu kami. Tanah ini tidak boleh dijual karena tanah itulah ayah dan ibu kami. Jadi dengan menjual tanah itu, bupati ibaratnya menanggalkan kain sarung ibu kami dan menanggalkan celana ayah kami”.

Pernyataan tetua adat ini bukan tanpa dasar. Sejak dulu kala masyarakat di Lembata sudah tahu bahwa di bawah perut bumi Lembata tersimpan emas, tapi tidak boleh diambil. Bahasa setempat menyebutnya “Ihin weren, matan mear”, artinya emas itu tidak boleh dibongkar-bangkir, nanti tanah dan kampong jadi ringan dan semua penghuninya akan hancur. Menariknya pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tanah bagi masyarakat Lembata ialah kekuatan dan penopang hidup mereka. Pertambangan berarti menghancurkan tanah (alam) dan itu berarti menghancurkan kehidupan manusia dan lingkungan. Masyarakat Lembata, secara khusus masyarakat yang wilayahnya menjadi sasaran tembak industri pertambangan pantas gelisah dan takut karena tahu kehancuran sedang membayangi kehidupan mereka. Kegelisahan dan ketakutan itu melahirkan kekuatan untuk menolak secara tegas rencana pemerintah dan perusahaan membuka industri pertambangan.

Wakil Rakyat Di Manakah Engkau?

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata ialah wakil rakyat karena dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Pertanyaannya di mana DPRD ketika kegelisahan masyarakat kian memuncak? Saya masih ingat kata-kata Ketua DPRD Lembata, Peter Boliona Keraf, ketika ia bicara dengan tim JPIC OFM di ruang kerjanya di Kantor DPRD Lembata, Selasa (3/7). Diakhir pertemuan Pimpinan DPRD mengatakan demikian:

“Masyarakat tidak usah ragu-ragu, jangan berlebihan ragu-ragu terhadap ketua DPRD, terhadap saya ini. Saya tidak akan membelakangi atau melawan mereka karena tu kepentingan mereka. Yang merasakan dampak ialah masyarakat, bukan ketua DPRD. Saya hanya membayangkan keuntungannya saja. Saya tidak akan berpihak kepada rakyat. Itu tidak bisa dibeli dengan uang…Jadi jangan ragu. Ini komitmen saya berpihak kepada rakyat”.

Terhadap komitmen Ketua DPRD tersebut, teman saya kebetulan seorang Pastor bertanya: “apakah kami bisa memegang komitmen Bapa?” Dengan nada sedikit keras Pa Peter menjawab: “Pegang kah....ngomong dengan Pastor le!!

Itu komitmen Ketua DPRD Lembata. Tapi melihat gerak DPRD Lembata selepas tim JPIC OFM melakukan investigasi, nampak sekali DPRD bersama Pemkab berusaha untuk tetap menggolkan rencana pertambangan dalam bingkai penolakan warga terhadap rencana itu. Studi Banding yang dilakukan Pemerintah, DPRD dan beberapa masyarakat ke PT. Newmont Minahasa Raya (NMR)[1] di Sulawesi Tenggara dan PT. Newmont Nusa Tenggara di NTB dan sejumlah pertemuan tertutup antara Pemkab dan PT. Merukh Enterprisess di Jakarta mengindikasikan kuatnya kemauan Pemkab dan DPRD membuka industri pertambangan. Artinya secara tidak langsung mengatakan bahwa DPRD sedang berjalan ke muara penghancuran terhadap kehidupan di Lembata dan membiarkan masyarakat sendirian berhadapan dengan kehancuran itu.

Frangas non Flectes

Jika kepentingan masyarakat dikedepankan, jika suara mereka didengarkan, maka komitmen Ketua DPRD Lembata untuk membela kepentingan masyarakat kiranya bisa membuat hati masyarakat sejuk, kegelisahan akan hilang. Masyarakat tentu masih menunggu komitmen Ketua DPRD itu dan anggota-anggotanya untuk berjuang bersama rakyat mempertahankan tanah dan alamnya dari kekuatan pemerintah dan perusahaan yang menghancurkan. Benar bahwa pertambangan bisa membawa keuntungan. Tapi keuntungan untuk siapa dan sampai kapan? Apakah demi keuntungan itu—yang belum jelas juga seberapa besar keuntungan dan sumbangannya bagi daerah dan masyarakat—masyarakat, hak-hak ulayat, kearifan lokal, adat istiadat, tanah, alam dan generasi-generasi yang dilahirkan kemudian harus dikorbankan?

Tentu tidak. Sejatinya pertambangan selalu menghancurkan alam dan manusia. Pertambangan hanya memberikan keuntungan kepada segelintir orang. Pilihan masyarakat ialah menolak tambang. Pemerintah atau DPRD boleh saja memaksa rakyat untuk menerima tambang. Namun masyarakat tetap pada pendiriannya untuk selalu mengatakan: “Jangan telanjangi ‘ibu—tanah’ kami. Dan Seneca benar ketika bilang: Frangas non Flectes, engkau dapat memaksaku, tetapi tidak untuk mengubah pendirianku. Tanah ialah penopang dan kekuatan kehidupan. Menghancurkan tanah karena pertambangan berarti menghancurkan ibu yang telah melahirkan dan memberi kehidupan.. (Valens DL)


[1] Ada indikasi tim studi banding Pemerintah dan DPRD yang melakukan studi banding ke PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) tidak melakukan studi banding ke perusahaan tersebut. Tetapi dalam laporannya tim stuba seolah-olah melihat langsung lokasi perusahaan NMR itu.

Mendung di Leragere

Awan Mendung di Leragere

Oleh: Valens DL

Siang, pkl. 11.00. Leragere. Leragere hanyalah sebuah kampong kecil yang berada di puncak bukit di Pulau Lembata, NTT. Nama Leragere kini selalu menghiasi media massa lokal karena kekuatan kesatuan seluruh warga masyarakat kampong yang mempertahankan kampungnya dari usaha pemerintah dan perusahaan merampas hak hidup mereka di atas tanah yang selama bertahun-tahun memberi kehidupan kepada mereka.

Pemkab Lembata bersama dengan PT. Merukh Enterprises ingin membuka industri pertambangan di atas tanah warisan leluhur ini. Mata warga Leragere terbuka, detakan jantung mereka berpacu cepat dari biasanya. Mereka seolah-olah sedang berada di suatu masa di mana kehancuran akan segera menyelimuti kehidupan mereka, saat ini dan di masa yang akan datang. Kini, di tanah Leragere mereka harus berhadapan dengan manusia-manusia yang tidak ingin hidup mereka aman dan tentram. Manusia-manusia yang ingin merampas kedamaian, ketenangan, ketentraman dan kesatuan di lingkungan hidup mereka.

Dan di siang itu mereka semua berkumpul. Mereka menyatukan hati dan jiwa mereka melawan orang-orang yang dengan semaunya tanpa kompromi ingin menghancurkan alam dan hidup mereka. Diantara kerumunan itu terlihat sosok perempuan yang belum terlalu tua. Matanya tajam menatap ke depan dengan raut wajah serius seolah-olah tidak ingin apa yang disampaikan terlewat begitu saja.

Clara, begitu ia biasa dipanggil. Usianya 36 tahun, punya seorang suami dengan empat orang anak. Hari-harinya diisi dengan bekerja di kebun. Kerjanya selama bertahun-tahun telah mencukupi kehidupannya. Hasil kemiri, jambu mete, tomat, padi, jagung, membuat bibirnya selalu merekah setiap saat. Ia tersenyum bangga bahagia melihat cucuran keringat bertahun-tahun memberinya masa depan yang pasti. Kebangganya sangat terasa lagi karena dari hasil bumi ini ia bisa hidup aman dan tenang bersama suami dan anak-anaknya.

Dalam dirinya ada rasa percaya diri yang tinggi bahwa dari hasil kebun itu ia mampu menyekolahkan keempat anaknya sampai ke perguruan tinggi. Ia memang sadar, tidak setiap tahun hasil kebunnya memuaskan. Tapi tanah dan segala yang ada di dalamnya setidaknya memberinya harapan besar bagi masa tuanya dan kehidupan bagi keempat anaknya di kemudian hari. Clara begitu bahagia saat ini.

Namun, siang itu. Raut wajahnya kelihatan letih dan lelah. Sedikitpun tidak terpancar kebahagiaan dari wajahnya. Ia benar-benar gelisah dan sedikit rasa takut. Dalam tuturan kesederhanaan seorang perempuan desa dengan bahasa Indonesia yang tersendat-sendat ia berkisah tentang kegelisahaan dan ketakutannya.

Leragere sedang mendung. Demikian ia mulai berkisah. Mendung bukan karena akan hujan, tapi karena kebahagiaan Clara, suami, anak-anaknya dan seluruh warga kampung mulai terenggut dari kehidupan mereka oleh rencana tambang pemerintah yang akan dibuka di kampungnya. Ia merasa gelisah dengan rencana pemerintah itu. Tambang berarti kehancuran. Kehidupannya yang aman dan damai dalam kesederhanaan berubah jadi kehidupan yang penuh dengan kegelisahaan, kekuatiran dan ketakutan. Dalam balutan kesederhanaan pikirannya Clara tahu kalau tambang itu hanya akan bawa kehancuran.

Geliat hidup di Kampung tidak ada lagi karena ditelan bisingnya alat-alat pertambangan, hutan akan hancur, air minum tercemar, kehidupannya akan terganggu. Yang paling menggelisahkan Clara ialah kehilangan nuranewa, kehilangan tanah yang diwariskan secara turun temurun, kehilangan adat dan satu kesatuan sebagai masyarakat adat tidak ada lagi. Bagi Clara dan semua warga di Leragere, tanah tempat ia lahir, hidup, besar adalah warisan nenek moyang yang harus ditempati, dijaga, dipelihara dan dipertahankan dari tangan-tangan orang-orang yang berniat jahat menghancurkannya walaupun tanah itu tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Namun setidak-tidaknya Clara dan semua ibu di Leragere masih punya sesuatu yang bisa diberikannya sebagai bukti kesetiaannya untuk menjaga dan mengelolah tanah yang diwariskan leluhur kepadanya. Tanahku ibuku penopang dan kekuatan hidupku. Begitulah semua warga di kampung ini memaknai tanah yang mereka pijak.

Mendung di Leragere. Kini semua mata menatapnya. Siang itu, Clara menanti tatapan itu. Bukan tatapan keinginan untuk menghancurkan tanah kelahirannya. Tatapan cinta, tatapan kehidupan. Tatapan yang memberi kesejukan, kedamaian di hatinya di kampungnya di kehidupan masyarakatnya. Tatapan yang mengubah Mendung di Leragere menjadi Cerah, secerah alam yang telah memberi kehidupan kepada keluarga Clara dan masyarakat di kampungnya.