16 November 2008

Mendung di Leragere

Awan Mendung di Leragere

Oleh: Valens DL

Siang, pkl. 11.00. Leragere. Leragere hanyalah sebuah kampong kecil yang berada di puncak bukit di Pulau Lembata, NTT. Nama Leragere kini selalu menghiasi media massa lokal karena kekuatan kesatuan seluruh warga masyarakat kampong yang mempertahankan kampungnya dari usaha pemerintah dan perusahaan merampas hak hidup mereka di atas tanah yang selama bertahun-tahun memberi kehidupan kepada mereka.

Pemkab Lembata bersama dengan PT. Merukh Enterprises ingin membuka industri pertambangan di atas tanah warisan leluhur ini. Mata warga Leragere terbuka, detakan jantung mereka berpacu cepat dari biasanya. Mereka seolah-olah sedang berada di suatu masa di mana kehancuran akan segera menyelimuti kehidupan mereka, saat ini dan di masa yang akan datang. Kini, di tanah Leragere mereka harus berhadapan dengan manusia-manusia yang tidak ingin hidup mereka aman dan tentram. Manusia-manusia yang ingin merampas kedamaian, ketenangan, ketentraman dan kesatuan di lingkungan hidup mereka.

Dan di siang itu mereka semua berkumpul. Mereka menyatukan hati dan jiwa mereka melawan orang-orang yang dengan semaunya tanpa kompromi ingin menghancurkan alam dan hidup mereka. Diantara kerumunan itu terlihat sosok perempuan yang belum terlalu tua. Matanya tajam menatap ke depan dengan raut wajah serius seolah-olah tidak ingin apa yang disampaikan terlewat begitu saja.

Clara, begitu ia biasa dipanggil. Usianya 36 tahun, punya seorang suami dengan empat orang anak. Hari-harinya diisi dengan bekerja di kebun. Kerjanya selama bertahun-tahun telah mencukupi kehidupannya. Hasil kemiri, jambu mete, tomat, padi, jagung, membuat bibirnya selalu merekah setiap saat. Ia tersenyum bangga bahagia melihat cucuran keringat bertahun-tahun memberinya masa depan yang pasti. Kebangganya sangat terasa lagi karena dari hasil bumi ini ia bisa hidup aman dan tenang bersama suami dan anak-anaknya.

Dalam dirinya ada rasa percaya diri yang tinggi bahwa dari hasil kebun itu ia mampu menyekolahkan keempat anaknya sampai ke perguruan tinggi. Ia memang sadar, tidak setiap tahun hasil kebunnya memuaskan. Tapi tanah dan segala yang ada di dalamnya setidaknya memberinya harapan besar bagi masa tuanya dan kehidupan bagi keempat anaknya di kemudian hari. Clara begitu bahagia saat ini.

Namun, siang itu. Raut wajahnya kelihatan letih dan lelah. Sedikitpun tidak terpancar kebahagiaan dari wajahnya. Ia benar-benar gelisah dan sedikit rasa takut. Dalam tuturan kesederhanaan seorang perempuan desa dengan bahasa Indonesia yang tersendat-sendat ia berkisah tentang kegelisahaan dan ketakutannya.

Leragere sedang mendung. Demikian ia mulai berkisah. Mendung bukan karena akan hujan, tapi karena kebahagiaan Clara, suami, anak-anaknya dan seluruh warga kampung mulai terenggut dari kehidupan mereka oleh rencana tambang pemerintah yang akan dibuka di kampungnya. Ia merasa gelisah dengan rencana pemerintah itu. Tambang berarti kehancuran. Kehidupannya yang aman dan damai dalam kesederhanaan berubah jadi kehidupan yang penuh dengan kegelisahaan, kekuatiran dan ketakutan. Dalam balutan kesederhanaan pikirannya Clara tahu kalau tambang itu hanya akan bawa kehancuran.

Geliat hidup di Kampung tidak ada lagi karena ditelan bisingnya alat-alat pertambangan, hutan akan hancur, air minum tercemar, kehidupannya akan terganggu. Yang paling menggelisahkan Clara ialah kehilangan nuranewa, kehilangan tanah yang diwariskan secara turun temurun, kehilangan adat dan satu kesatuan sebagai masyarakat adat tidak ada lagi. Bagi Clara dan semua warga di Leragere, tanah tempat ia lahir, hidup, besar adalah warisan nenek moyang yang harus ditempati, dijaga, dipelihara dan dipertahankan dari tangan-tangan orang-orang yang berniat jahat menghancurkannya walaupun tanah itu tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Namun setidak-tidaknya Clara dan semua ibu di Leragere masih punya sesuatu yang bisa diberikannya sebagai bukti kesetiaannya untuk menjaga dan mengelolah tanah yang diwariskan leluhur kepadanya. Tanahku ibuku penopang dan kekuatan hidupku. Begitulah semua warga di kampung ini memaknai tanah yang mereka pijak.

Mendung di Leragere. Kini semua mata menatapnya. Siang itu, Clara menanti tatapan itu. Bukan tatapan keinginan untuk menghancurkan tanah kelahirannya. Tatapan cinta, tatapan kehidupan. Tatapan yang memberi kesejukan, kedamaian di hatinya di kampungnya di kehidupan masyarakatnya. Tatapan yang mengubah Mendung di Leragere menjadi Cerah, secerah alam yang telah memberi kehidupan kepada keluarga Clara dan masyarakat di kampungnya.

No comments: