16 November 2008

Jangan Telanjangi Ibu Kami

Tanggal 23 Mei 2007, JPIC-OFM Indonesia menerima surat dari Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL) yang berisi permohonan dukungan advokasi bagi masyarakat Lembata yang gelisah dan resah terkait rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata membangun industri pertambangan terpadu di Pulau Lembata. Menanggapi surat tersebut, JPIC-OFM mengutus dua staff untuk melakukan investigasi di wilayah-wilayah yang menjadi prospek tambang yaitu Kec. Omesuri, Buyasuri dan Lebatukan. Investigasi berlangsung dari tanggal 24 Juni 2007 – 11 Juli 2007. Investigasi dilakukan dengan cara: mewawancarai Pejabat Pemerintah, tokoh masyarakat, tetua adat, aparat pemerintah desa dan masyarakat.

Lembata Kaya Bahan Tambang
               Pulau Lembata, dulu orang mengenalnya “Pulau Lomblen” menyimpan banyak potensi bahan tambang. Tak heran kalau Lembata menjadi lirikan banyak investor untuk melakukan investasi bidang pertambangan di Lembata. Sebut misalnya, PT. Baroit Indonesia, PT. Sumber Alam Lembata, PT. Nusa Lontar Mining, dan masih ada perusahaan lainnya yang sudah datang ke Lembata baik hanya untuk menyelidiki maupun untuk menambang. Dari hasil penelitian terungkap bahwa di bawah perut bumi Lembata terdapat kandungan mineral seperti tembaga, timah hitam, seng, emas, perak dan mangan. merupakan kandungan mineral yang terpendam di Lembata. Belakangan berdasarkan penyelidikan PT. Pukuafu Indah (anak perusahaan PT. Merukh Enterprises) kandungan mineral tersebut menyebar di tiga kecamatan di Kab. Lembata yaitu kec. Lebatukan, Omesuri dan Beasuri. 
               Rupa-rupanya Pemkab Lembata tergiur dengan potensi bahan galian yang ada tersebut. Karena itu dalam program pembangunannya, Bupati Lembata mencantumkan investasi di bidang pertambangan menjadi program strategis yang harus dikembangkan untuk membangun Lembata ke arah yang lebih baik. Rencana membuka industri pertambangan mulai direalisasikan dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Pemkab Lembata atas nama Bupati Andreas Duli Manuk dengan PT. Merukh Enterprisess tanggal 12 November 2005. Menariknya penandatangan MoU ini tanpa sepengetahuan pihak DPRD Lembata. Merasa dilangkahi, Ketua DPRD Lembata Peter Boliona Keraf  menanyakan soal penandanganan MoU itu kepada Bupati. Singkat cerita pada tanggal 28 Agustus 2007 Bupati Andreas Duli Manuk dan Ketua DPRD Kabupaten Lembata Petrus Boliona Keraf bersama-sama menandatangani rekomendasi untuk PT. Pukuafu Indah dan PT. Kupfer Produkte GmbH Germany dalam mendapatkan kontrak karya pertambangan dari Menteri Pertambangan dan Energi tanpa melalui mekanisme pleno DPRD sebagai pengambil keputusan tertinggi di Dewan. Dengan adanya penandatangan rekomendasi ini memberi sinyal jelas bahwa dua kekuatan yang berada di Kab. Lembata: eksekutif dan legislatif telah membuka ruang bagi terwujudnya pembangunan industri pertambangan di Lembata.
 
 
Meningkatkan Keuangan Daerah
               Di era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki daerah. Bagi Pemkab Lembata investasi dibidang pertambangan merupakan salah satu cara yang dapat meningkatkan keuangan daerah karena bidang-bidang lain seperti pertanian, kelautan, kehutanan dan pariwisata dinilai belum cukup memberi sumbangan berarti bagi meningkatnya keuangan daerah. Wakil Bupati Lembata Andreas Nula Liliweri saat diwawancarai tim investigasi JPIC OFM menilai rencana pertambangan merupakan usaha pemerintah meningkatkan keuangan daerah. Pernyataan Wakil Bupati Lembata ini dipertegas oleh Kabag Ekonomi Lembata, Longginus Lega. Menurut Kabag Ekonomi, selama enam tahun sejak Lembata menjadi Kabupaten tersendiri, pendapatan asli daerah Lembata tidak begitu significant. Rencana industri pertambangan akan menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan keuangan daerah secara signifikan. 
               Persoalan muncul ketika keinginan pemerintah ini terbentur dengan sikap penolakan dari masyarakat terhadap rencana itu. Masyarakat yang tanahnya menjadi titik bidik untuk pertambangan mempertanyakan apakah hanya untuk meningkatkan keuangan daerah harus mengorbankan rakyat, tanah, hak ulayat, hutan, laut dan kehidupan masyarakat? Mereka juga mengungkapkan keragu-raguannya kepada Bupati Lembata yang begitu gampang mengambil kebijakan tanpa pertimbangan yang matang. Bupati sepertinya lebih mementingkan ambisi pribadinya daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan rencana pertambangan dinilai sebagai sikap ketidakmampuan pemerintah untuk memajukan Lembata. Tambang tidak dikerjakan oleh pemerintah tapi pengusaha. Artinya keuntungan lebih besar pasti ada ditangan perusahaan itu.

Masyarakat Menolak Industri Pertambangan

Pemerintah boleh punya kebijakan dan keputusan. Tapi kebijakan dan keputusan itu seharusnya melibatkan masyararakat akar rumput yang menjadi subjek pembangunan. Penting melibatkan masyarakat karena merekalah yang secara langsung akan merasakan dampak lingkungan. Kesaksian warga di lokasi bakal tambang yang ditemui tim investigasi JPIC OFM mengungkapkan bahwa rencana dibukanya industri pertambangan di Lembata tidak disosialisasikan secara maksimal di masyarakat akar rumput. Bahkan ada yang menyatakan Bupati Andreas Duli Manuk hanya menjanjikan saja untuk datang ke kampung mereka untuk melakukan sosialisasi. Namun janji itu hanya tinggal janji tidak pernah terwujudkan. Sementara di media massa mereka mendengar berita bahwa Bupati, dinas-dinas terkait dan anggota DPRD Lembata pergi ke Jakarta untuk bicara soal rencana itu dengan perusahaan.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan masyarakat kepada pemerintah, bagi masyarakat yang wilayahnya menjadi sasaran dibukanya pertambangan menilai pertambangan hanya akan membawa kehancuran bagi masyarakat dan hal ini sangat bertentangan dengan pengetahuan mereka akan makna tanah (alam) yang sudah diwariskan dan diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Karena itulah secara tegas masyarakat menolak rencana pertambangan itu. Beberapa alasan yang kiranya melatarbelakangi sikap penolakan masyarakat ialah pertama, pemerintah lebih banyak bicara keuntungan pertambangan, namun tidak siap menghadapi dampaknya. Dalam sosialisasi yang terbatas hanya pada camat, kepala desa, BPD pemerintah lebih banyak menjelaskan tentang keuntungan pertambangan. Sementara dampak buruk pertambangan tidak dijelaskan. Pemerintah hanya menghimbau masyarakat supaya jangan memikirkan dampak buruk pertambangan, tapi pikirkan saja kesejahteraan rakyat. Ada juga penjelasan yang menggelikan masyarakat bahwa limbah-limbah tambang bisa diolah menjadi minuman segar dan lapangan golf bagi masyarakat???Sebuah pembohongan.

Kedua, masyarakat hidup bukan dari emas, tetapi dari lahan pertanian. Masyarakat Lembata ialah masyarakat agraris. Mereka mengungkapkan bahwa emas hasil dari pertambangan tidak akan pernah menghilangkan rasa lapar dan dahaga, emas tidak memberi mereka kehidupan. Pertambangan justru akan membawa kehancuran bagi kehidupan mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak program pemerintah. Sebaliknya mereka melakukan apa yang menjadi program pemerintah. Tapi untuk program pertambangan mereka dengan tegas menolaknya.

Ketiga, pertambangan menghancurkan tanah, laut, dan ikatan dengan leluhur. Akibat pertambangan sebenarnya sudah pernah dirasakan oleh masyarakat di Atanila. Tahun 1984-1994, PT. Baroit Indonesia dan PT Sumber Alam Lembata pernah menambang Baroit di Atanila. Menurut warga di Atanila kehadiran dua perusahaan itu tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, kehadiran mereka justru menghancurkan alam dan lingkungan hidup mereka. Yang paling tragis ialah satu-satunya sumber air minum masyarakat tercemar belerang. Warga terpaksa minum air itu walau dilarang karena sangat mengganggu kesehatan. Tapi masyarakat tetap meminumnya karena hanya itu satu-satunya sumber mata air. Inilah yang menggelisahkan dan menakutkan masyarakat. Mereka tidak ingin pengalaman masa lalu yang masih mereka alami hingga sekarang ini terulang kembali. Rencana pertambangan di depan mata akan mengancam seluruh kehidupan mereka.

Tanah ialah ibu bumi

Alasan lain yang menjadi akar dari seluruh penolakan masyarakat terhadap rencana pertambangan ialah keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan arti penting tanah sebagai ibu mereka yang tidak boleh dibongkar-bangkir dan diperjualbelikan. Menjual tanah sama halnya dengan menanggalkan kain sarung ibu dan menanggalkan celana ayah mereka. Beginilah masyarakat Lembata, seperti yang diungkapkan salah seorang tua adat di Leragere, memaknai tanah dan alam mereka sebagai ibu yang memberi mereka kehidupan.

“Wahai kampung halaman beserta nama-nama tugu batu kekuatanmu, kampung yang hijau, tanah nan permai, kampung tua, tanah yang kian uzur, ibu yang merawat, ayah yang melindungi, ibu yang memperhatikan, ayah yang menopang, ibu yang memberi, ayah yang menatang. Kami menolak pertambangan di sini karena sejak dulu tanah ini telah melahirkan leluhur, kami sendiri serta anak cucu kami. Tanah ini tidak boleh dijual karena tanah itulah ayah dan ibu kami. Jadi dengan menjual tanah itu, bupati ibaratnya menanggalkan kain sarung ibu kami dan menanggalkan celana ayah kami”.

Pernyataan tetua adat ini bukan tanpa dasar. Sejak dulu kala masyarakat di Lembata sudah tahu bahwa di bawah perut bumi Lembata tersimpan emas, tapi tidak boleh diambil. Bahasa setempat menyebutnya “Ihin weren, matan mear”, artinya emas itu tidak boleh dibongkar-bangkir, nanti tanah dan kampong jadi ringan dan semua penghuninya akan hancur. Menariknya pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tanah bagi masyarakat Lembata ialah kekuatan dan penopang hidup mereka. Pertambangan berarti menghancurkan tanah (alam) dan itu berarti menghancurkan kehidupan manusia dan lingkungan. Masyarakat Lembata, secara khusus masyarakat yang wilayahnya menjadi sasaran tembak industri pertambangan pantas gelisah dan takut karena tahu kehancuran sedang membayangi kehidupan mereka. Kegelisahan dan ketakutan itu melahirkan kekuatan untuk menolak secara tegas rencana pemerintah dan perusahaan membuka industri pertambangan.

Wakil Rakyat Di Manakah Engkau?

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata ialah wakil rakyat karena dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Pertanyaannya di mana DPRD ketika kegelisahan masyarakat kian memuncak? Saya masih ingat kata-kata Ketua DPRD Lembata, Peter Boliona Keraf, ketika ia bicara dengan tim JPIC OFM di ruang kerjanya di Kantor DPRD Lembata, Selasa (3/7). Diakhir pertemuan Pimpinan DPRD mengatakan demikian:

“Masyarakat tidak usah ragu-ragu, jangan berlebihan ragu-ragu terhadap ketua DPRD, terhadap saya ini. Saya tidak akan membelakangi atau melawan mereka karena tu kepentingan mereka. Yang merasakan dampak ialah masyarakat, bukan ketua DPRD. Saya hanya membayangkan keuntungannya saja. Saya tidak akan berpihak kepada rakyat. Itu tidak bisa dibeli dengan uang…Jadi jangan ragu. Ini komitmen saya berpihak kepada rakyat”.

Terhadap komitmen Ketua DPRD tersebut, teman saya kebetulan seorang Pastor bertanya: “apakah kami bisa memegang komitmen Bapa?” Dengan nada sedikit keras Pa Peter menjawab: “Pegang kah....ngomong dengan Pastor le!!

Itu komitmen Ketua DPRD Lembata. Tapi melihat gerak DPRD Lembata selepas tim JPIC OFM melakukan investigasi, nampak sekali DPRD bersama Pemkab berusaha untuk tetap menggolkan rencana pertambangan dalam bingkai penolakan warga terhadap rencana itu. Studi Banding yang dilakukan Pemerintah, DPRD dan beberapa masyarakat ke PT. Newmont Minahasa Raya (NMR)[1] di Sulawesi Tenggara dan PT. Newmont Nusa Tenggara di NTB dan sejumlah pertemuan tertutup antara Pemkab dan PT. Merukh Enterprisess di Jakarta mengindikasikan kuatnya kemauan Pemkab dan DPRD membuka industri pertambangan. Artinya secara tidak langsung mengatakan bahwa DPRD sedang berjalan ke muara penghancuran terhadap kehidupan di Lembata dan membiarkan masyarakat sendirian berhadapan dengan kehancuran itu.

Frangas non Flectes

Jika kepentingan masyarakat dikedepankan, jika suara mereka didengarkan, maka komitmen Ketua DPRD Lembata untuk membela kepentingan masyarakat kiranya bisa membuat hati masyarakat sejuk, kegelisahan akan hilang. Masyarakat tentu masih menunggu komitmen Ketua DPRD itu dan anggota-anggotanya untuk berjuang bersama rakyat mempertahankan tanah dan alamnya dari kekuatan pemerintah dan perusahaan yang menghancurkan. Benar bahwa pertambangan bisa membawa keuntungan. Tapi keuntungan untuk siapa dan sampai kapan? Apakah demi keuntungan itu—yang belum jelas juga seberapa besar keuntungan dan sumbangannya bagi daerah dan masyarakat—masyarakat, hak-hak ulayat, kearifan lokal, adat istiadat, tanah, alam dan generasi-generasi yang dilahirkan kemudian harus dikorbankan?

Tentu tidak. Sejatinya pertambangan selalu menghancurkan alam dan manusia. Pertambangan hanya memberikan keuntungan kepada segelintir orang. Pilihan masyarakat ialah menolak tambang. Pemerintah atau DPRD boleh saja memaksa rakyat untuk menerima tambang. Namun masyarakat tetap pada pendiriannya untuk selalu mengatakan: “Jangan telanjangi ‘ibu—tanah’ kami. Dan Seneca benar ketika bilang: Frangas non Flectes, engkau dapat memaksaku, tetapi tidak untuk mengubah pendirianku. Tanah ialah penopang dan kekuatan kehidupan. Menghancurkan tanah karena pertambangan berarti menghancurkan ibu yang telah melahirkan dan memberi kehidupan.. (Valens DL)


[1] Ada indikasi tim studi banding Pemerintah dan DPRD yang melakukan studi banding ke PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) tidak melakukan studi banding ke perusahaan tersebut. Tetapi dalam laporannya tim stuba seolah-olah melihat langsung lokasi perusahaan NMR itu.

No comments: