02 February 2010

Surat Terbuka Kepada Panitia Tahbisan Uskup Ruteng

Yang kami cintai:

Romo Administrator Keuskupan Ruteng.
Pengangkatan Rm. Dr. Hubert Leteng, Pr sebagai uskup Ruteng menghadirkan sukacita baik bagi umat di Manggarai maupun umat Manggarai di diaspora. Sukacita itu diiringi dengan banyak sekali harapan, semoga uskup baru mampu membawa garam dan terang di tengah konteks umat yang masih berkutat dengan banyak masalah sosial-ekonomi-politik dan sekaligus bingung alias tidak percaya diri menghadapi masa depan. Dan itu terejawantah misalnya dalam model pewartaan yang kontekstual dan betul-betul menjawab masalah dan kebutuhan nyata umat.

Kami melihat bahwa sikap-mental yang penting menuju cita-cita dan harapan itu adalah gereja institusi sendiri perlu yakin (percaya diri) dengan segala kekuatan dan sumber daya yang dimilikinya, serta sadar betul akan tugas, tanggung jawab dan perannya di tengah umat dan masyarakat dalam konteks perubahan sosial yang begitu cepat. Dalam kerangka itu, gereja insitusi diharapkan tidak bingung dan gamang merumuskan sikap dan posisinya tentang ke mana Keuskupan Ruteng dibawa dalam 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan 50 tahun ke depan.

Akan tetapi, sukacita dan harapan itu seakan tergerus begitu cepat mendengar berita bahwa perayaan tahbisan uskup baru menelan biaya yang besar (1,3 M) dan melibatkan para pejabat pemerintahan dalam struktur kepanitiaan intinya. Rasa cinta dan kepedulian yang begitu besar terhadap gereja membuat kami prihatin akan realitas itu.

Romo yang kami cintai,
Kami prihatin karena momen menjelang pentahbisan uskup baru seharusnya menjadi ajang refleksi bagi panggilan dan tugas perutusan segenap gembala Keuskupan Ruteng; tidak pertama-tama dimaknai sebagai “pesta”, yang lalu membuat kita mengerahkan sebagian besar energi untuk mencari uang. Momen [menjelang] pentahbisan harusnya dimaknai sebagai “momen rohani”, di mana gereja merefleksikan, menggugat diri, dan merumuskan ulang peran dan tanggung jawab profetisnya sebagaimana seharusnya, yang selama ini terlihat kurang tegas dan kurang jelas terekspresikan. Sebab, setiap perayaan “syukur” atas sesuatu juga mengandung dalam dirinya sendiri tanggung jawab, bukan syukur per se; dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Setiap kehadiran dalam setiap perayaan syukur membawa serta harapan-harapan, dan karena itu menjadi tanggung jawab moral bagi sang yubilaris dan institusi yang akan dipimpinnya.

Harapan-harapan itu sesungguhnya tidak terlalu tinggi. Harapan-harapan umat lahir dari situasi sederhana sehari-hari yang mereka lihat, rasakan, dan alami. Misalnya, mereka lihat bahwa dengan sumber daya dan kekuatan yang dimilikinya serta tanggungjawab moral-profetis yang disandangnya, gereja institusi kurang terlihat terlibat secara jelas dan tegas dalam masalah-masalah sosial-ekonomi-politik yang melilit mereka: sikap gereja terhadap kasus Colol masih meninggalkan tanda tanya bahkan kepedihan yang mendalam, demikian juga kasus STKIP. Baru-baru ini, kegamangan dan ketidaktegasan atas tugas dan tanggung jawab profetis itu menjadi lebih tegas dan bahkan sempurna lagi ketika gereja institusi “membiarkan” pertambangan terbuka merajalela menghancurkan ketiga wilayah kabupaten akibat kebijakan politik culas-koruptif penguasa. Masalah kemiskinan umat, kejahatan politik (korupsi dan kesewenang-wenangan) oleh pemerintah daerah, dan sebagainya menambah panjang litani keprihatinan yang dialami dan dirasakan umat. Padahal, keterlibatan secara tegas dan jelas dalam praksis semacam itu tidak pertama-tama dilihat sebagai tugas semata, melainkan lebih dari itu tanggung jawab moral-profetis.

Romo Administrator yang kami cintai,
Kami umat biasa memandang bahwa pentahbisan uskup merupakan peristiwa iman dan perayaan umat. Sebagai peristiwa iman, pentahbisan ini hendaknya menjadi suatu momen refleksi atas iman dan panggilan kristiani umat Katolik Manggarai. Sebagai perayaan umat, pentahbisan ini hendaknya dilakukan sungguh-sungguh oleh umat dan sesuai dengan kemampuan umat. Karena itu, tadinya kami berharap tahbisan itu seharusnya dirayakan dengan sederhana oleh dan melibatkan umat itu sendiri. Selain itu, di tengah-tengah keprihatinan yang nyata, adalah lebih pas kalau perayaan tahbisan itu dirayakan secara “prihatin” sebagai simbol kesadaran gereja institusi atas masalah-masalah yang sedang terjadi sekaligus kesiapannya untuk berubah secara fundamental. Biarkanlah orang menceritakan tahbisan mendatang karena kesederhanaannya ketimbang kemewahannya. Dan kami sebagai umat amat bangga dengan kesederhanaan itu.

Akan tetapi, kami menjadi prihatin karena keterlibatan pejabat pemerintah dalam kepanitiaan tahbisan. Siapa pun tahu bahwa dimasukkannya para pejabat pemerintahan ke dalam struktur kepanitiaan lebih dilandasi oleh pertimbangan menyukseskan pesta tahbisan (yang kurang “prihatin” dan kurang sederhana itu) ketimbang karena mereka yang kebetulan katolik. Sebab, sekali lagi, siapa pun tahu bahwa sikap dan tindak tanduk pejabat pemerintah selama ini berlawanan dengan harapan rakyat termasuk harapan gereja institusi itu sendiri; bahkan. Dalam kasus pertambangan terbuka, secara sadar dan terang benderang, pemerintah daerah melawan suara kritis-profetis gereja. Padahal, seorang katolik ataupun pejabat katolik yang terlibat dalam kepanitiaan tahbisan uskup berarti juga sadar bahwa ia dengan caranya sendiri-sendiri juga ikut mendukung dan memikul tanggung jawab moral dari “apa artinya menjadi uskup”, yang tidak lain adalah menyelamatkan “jiwa-jiwa” dalam keutuhannya (jiwa dan raganya).

Kami khawatir bahwa keterlibatan pemerintah dalam kepanitiaan tahbisan hanya angkat mengangkat citra mereka, yang selama ini de facto terpuruk. Lebih lagi, hal itu terjadi menjelang Pilkada. Masyarakat akan cenderung menilai bahwa kinerja dan tindak-tanduk mereka yang selama ini menggelisahkan masyarakat diamini dan dibenarkan oleh pihak gereja institusi. Padahal, secara moral gereja tidak dibenarkan untuk menerima sumbangan dari para pejabat yang nyata-nyata melawan suara profetisnya, apalagi memberikan sumbangan “citra positif” bagi mereka. Sebagaimana halnya, setiap pejabat Katolik secara moral tidak dibenarkan untuk memanfaatkan gereja institusi untuk kepentingan pribadinya. Ringkasnya, menerima para pejabat pemerintah yang bermasalah dalam struktur inti kepanitiaan tahbisan tidak saja melukai esensi dari perayaan itu (yaitu, membuka jalan bagi perubahan dan metanoia), melainkan juga kontraproduktif dengan perjuangan gereja menegakkan keadilan, kebenaran, dan keutuhan ciptaan. Membangun kerjasama yang tidak kritis dan mesra semacam ini bahkan bisa mempertebal kecurigaan umat terhadap pejabat gereja terutama melihat kenyataan bahwa peran gereja selama ini tidak kasat mata, dan karena itu terkesan abu-abu, terhadap beberapa masalah keadilan umat, misalnya soal tambang. Kalau ini betul-betul terjadi, gereja sekali lagi menelan sikap kritis (critical cooperation) dan independensi yang selama ini diakuinya sendiri berhadapan dengan kekuasaan, dan bahwa semakin sempurnalah gereja institusi jatuh ke dalam lubang yang sama terus-menerus.

Romo Administrator yang kami cintai,
Berdasarkan kegelisahan dan keprihatinan itu, perkenankan kami memberikan beberapa usul praktis sebagai berikut.
1. Libatkan umat secara penuh dalam pentahbisan ini. Gereja dan organisasi-organisasi terkait sudah lama hidup di Manggarai. Prioritaskan mereka di lini depan dalam kepanitiaan.
2. Jangan libatkan pejabat pemerintah (bupati atau wakil bupati ) dalam kepanitiaan tahbisan.
3. Rayakan tahbisan itu di areal Katedral Ruteng, entah di dalam ataupun di luar. Katedral adalah simbol umat katolik Manggarai. Perayaan iman ini lebih pas diadakan di tempat ini daripada harus buat panggung besar di lapangan Motang Rua atau di halaman luas Kantor Daerah.
4. Jangan terima uang dari pemerintah daerah, dalam hal ini tiga kabupaten di tanah Manggarai utk membiayai biaya tahbisan. Krn, dalam satu sumber anggaran panitia tertulis satu sumber anggaran ialah sumbangan tiga pemerintah daerah di Mangggarai, yang jumlahnya tidak ditentukan karena harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPRD. Kami mohon ini ditiadakan. Biarkanlah pejabat2 itu memberikan sumbangannya sebagai orang katolik Manggarai, di bawah program panitia: Rp 1000/jiwa.
5. Kami umat katolik Manggarai diaspora siap dengan ikhlas memberikan sumbangan menurut bagian kami masing-masing. Upaya ini sebagai dukungan kami untuk menyukseskan perayaan ini sebagai perayaan umat melalui propgram panitia Rp 1000/jiwa.
6. Dikurangi jumlah umat yang diberi makan. Dalam anggaran panitia, sekitar 20 ribu umat akan diberi makan. Sebaiknya undangan yang makan, sama untuk semua paroki, termasuk dari paroki kota. Umat lain cukup ikut misa dan diberi minum. Atau biarkanlah umat datang menghadiri misa dan membawa bekal mereka sendiri dan memakan bersama – dan mungkin berbagi dengan umat lain- di halaman Kathedral Ruteng. Kemungkinan ini hendaknya disampaikan ke seluruh umat. Indah membayangkan betapa uskup dan ribuan tamu bergilir dari tenda ke tenda menyantap ubi dan jagung yang dibawa oleh umat utk merayakan tahbisan gembala mereka.

Demikian surat terbuka persaudaraan ini. semoga bermanfaat. Di atas segala-galanya, surat ini merupakan bukti cinta kami terhadap ibu bumi Manggarai dan simpati kami terhadap peristiwa iman pentahbisan.

Jakarta, 08 Januari 2009
Ttd,


Peter Aman, OFM
Gerardus Bibang

No comments: