(Investigasi JPIC OFM Indonesia tentang Pertambangan di Manggarai dan Dampak-Dampaknya Kini dan di Masa Depan)
Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya
merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?
(Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945)
Kami sehati-sejiwa
mempertahankan warisan leluhur kami,
tana kuni agu kalo.
Toe nganceng pika tana widang,
toe nganceng kandit tana dading
Daftar Isi
1. Pengantar
2. Manggarai Selayang Pandang
3. Sekilas Sejarah Masuknya Investasi Pertambangan
4. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Manggarai Terhadap Industri Pertambangan
5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Kehadiran Industri Pertambangan
6. Dampak Nyata Industri Pertambangan di Kabupaten Manggarai
7. Melirik Potensi Nyata: Manggarai Dapat Maju Tanpa Tambang
8. Rekomendasi: Lantas Apa Yang Harus Dibuat? “Prioritas, Urgensi Dan Kompetensi”
Pengantar
Di tahun 2008 seluruh atau sebagian besar warga bangsa ini mengenang dan merayakan satu abad Kebangkitan Bangsa (1908). Semua paham dan tahu bahwa Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908) menjadi pilar awal kesadaran kebangsaan dan kesatuan kita, yang kemudian diartikulasikan dengan lebih jernih dan jelas pada hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pertanyaan yang relevan untuk diajukan pada perayaan satu abad ini adalah: benarkah kita sudah menjadi bangsa mandiri dan merdeka? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini karena jawaban akan amat berbeda, bergantung dari perspektif mana kita ingin memberikan jawaban.
JPIC-OFM Indonesia, yang mengemban amanat Injili dan Spiritualitas St. Fransiskus dari Assisi, dalam konteks masyarakat Indonesia, juga bersama semua orang yang berkehendak baik ingin menemukan jawaban atas pertanyaan ini dari perspektif masyarakat atau rakyat Indonesia yang selalu disebut sebagai sasaran dan tujuan pembangunan, dengan rumusan yang indah: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Benarkah kita sudah merdeka dan sejahtera? Sudah sungguh bebaskah kita dari penjajahan dalam segala bentuknya? Dengan nurani yang jujur harus dijawab bahwa kita belum sungguh merdeka dan ketika kemerdekaan itu belum sungguh dinikmati, kini kita dibelenggu lagi oleh apa yang Bung Karno sebut: NEOKOLIM (Neo Kolonialisme dan Imperialisme) atau lebih populer kini disebut: NEOLIB (Neoliberalisme Ekonomi) yang digelontorkan oleh kapitalisme global dengan akibat yang sama: dunia ketiga dililit kemiskinan terus menerus, sementara kekayaan sumber alamnya dijarah habisan-habisan oleh pemodal besar yang hadir dalam diri Perusahaan Multi Nasional yang bekerja sama dengan ‘komprador’ dalam negeri yang dengan tega dan tanpa kesadaran akan tanggungjawab sosial-ekonomi, mengeruk dan menjarah kekayaan negeri ini dengan prinsip yang amat latah: jual cepat, jual murah dan jual habis.
Inilah yang sekarang ini sedang terjadi. Dengan iming-iming dan janji-janji manis kesejahteraan untuk rakyat, perusahaan-perusahaan nasional (umumnya kaki tangan perusahaan asing) dan multinasional menyergap dan memburu kekayaan alam Indonesia dan mengurasnya tanpa sisa. Yang tertinggal adalah manusia-manusia Indonesia yang kekurangan gizi di atas tanah dan alam nan subur dan indah; isi perut bumi dikeruk tanpa ampun dan hutan lebat digerus tuntas tanpa berpikir tantang kehidupan anak-cucu dim as depan, sebagaimana Chairil Anwar pernah merindukan agar warga bangsa ini hidup 1000 tahun lagi di atas bumi kaya raya dari Sabang sampai Merauke.Perusahaan-perusahaan besar nasional dan internasional kini menyerbu masuk dengan hanya satu prinsip: keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Hukum ekonomi klasik, yang tidak akan dibuang oleh mereka yang haus kekayaan tanpa nurani sosial dan kesadaran akan kesejahteraan umum.
Ternyata Manggarai (Tana Kuni agu Kalo, Negeri Congka Sae) tidak luput dan bahkan menjadi lirikan kaum berduit untuk dikeruk habis karena ‘rahim Ibu Pertiwi Manggarai’ kaya akan bahan mineral. Pertanyaan pokok kita adalah benarkah eksploitasi kekayaan alam Manggarai memberikan kesejahteraan bagi rakyat Manggarai? Betulkah investasi di bidang pertambangan menjadi urgensi bagi kemajuan Manggarai? Apakah masyarakat Manggarai memiliki komptensi di bidang usaha baru ini sehingga mereka tetap menjadi agen utama atau subyek pembanguan di tanahnya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan ini dan hasrat untuk memaknai 100 tahun Kebangkitan Nasional sebagai momentum kebangkitan kesadaran akan tanggungjawab bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mendorong JPIC-OFM melakukan investigasi tentang sepak terjang perusahaan-perusahaan tambang di Manggarai dan Manggarai Timur. Investigasi tersebut dilakukan tgl. 29 Mei sampai dengan 10 Juni 2008 yang lalu.
Kertas Posisi yang ada di tangan anda ini adalah hasil analisis JPIC-OFM Indonesia atas hasil investigasi tersebut. Hasil analisis ini bukanlah jawaban paling sempurna atau jalan keluar yang paling jitu bagi multi persoalan yang sempat terekam selama investigasi. Tetapi Kertas Posisi ini adalah wujud sikap dan tanggungjawab JPIC-OFM untuk mengajak sebanyak mungkin pihak dan orang yang berkehendak baik untuk secara serius, rasional dan bermoral memikirkan bentuk-bentuk, model dan kebijakan yang pas bagi pembangunan Manggarai ke depan.
Pertanyaan-pertanyaan berikut perlu kita temukan jawabannya secara jujur sesuai nurani yang diterangi akal-budi yang sehat: betulkan pertambangan menjadi suatu urgensi bagi pembangunan Manggarai, seolah-olah tanpa pertambangan Manggarai tak memiliki masa depan? Betulkan pertambangan menjadi prioritas pembangunan yang menjawab kebutuhan nyata masyarakat Manggarai saat ini? Sudahkah rakyat Manggarai, memiliki komptensi untuk menjadi pelaku usaha pembangunan melalui pertambangan, mengingat bahwa rakyat Manggarailah agen utama pembangunan di Manggarai?
Investigasi ini tak akan menuai hasil jika pihak-pihak berikut tidak terlibat dan memberikan dukungan nyata. Untuk itu kami ingin menghaturkan terima kasih kepada Bapak Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok; Bapak Wakil Bupati Manggarai, Dr. Kamilus Deno, SH, MM; Kepala Dinas Kehutanan dan Dinas Pertambangan Kabupaten Manggarai; Kepala Bapedalda Kabupaten Manggarai atas kesediaan mereka untuk berdiskusi serta menjelaskan kebijakan yang diambil berkaitan dengan pembangunan Manggarai.
Kami juga ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada P. Simon Suban Tukan, SVD (JPIC-SVD Provinsi Ruteng) serta Nelti dan Hesti. Juga kepada Enu Ratna Geong (SOPPAN) dan Sdr. Emil Sarwandi serta Sdr. Nico Kako yang tanpa kenal lelah berpartisipasi dalam investigasi ini. Juga ucapan terima kasih kami alamat kepada sejumlah Manajer Perushaan Tambang yang membagikan cerita dan kebijakan Perusahaan mereka. Tentu saja kepada para tu’a adat, tokoh masyarakat serta para pekerja tambang yang mengais rejeki dengan berjeri-lelah di perusahaan tambang untuk rezeki hidup sehari-hari. Terima kasih ini tak akan lengkap tanpa menyebut sejumlah rekan imam di sejumlah Paroki yang turut merasakan kegelisahan dan kecemasan umat mereka atas dampak pertambangan yang tak terduga sebelumnya. Juga kepada Persaudaraan Fransiskan, Gardianat Fonte Colombo, Flores, atas dukungan nyata dan nikmat hidup persaudaraan yang dirasakan selama investigasi. Untuk ‘tana dading Manggarai’ kita selalu harus memberikan yang terbaik. Tabe!
Jakarta, Pesta Malaikat Agung (29 September) 2008
Tim Investigasi JPIC-OFM Indonesia
I
MANGGARAI SELAYANG PANDANG
Kabupaten Manggarai - sebelum terjadi pemekaran wilayah menjadi tiga Kabupaten – merupakan salah satu Kabupaten/Kota yang cukup luas di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mengingat luasnya jangkauan pelayanan publik terhadap masyarakat, dan demi peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (bdk. PP 129 tahun 2000, 2 & 3), maka berdasarkan Undang-undang no.8 tahun 2003 terbentuklah Kabupaten Manggarai Barat. Empat tahun kemudian, tahun 2007, berdasarkan Undang-undang no. 36 tahun 2007 tentang Pemekaran Wilayah Manggarai Timur, terbentuklah Kabupaten Manggarai Timur. Dengan demikian seluruh wilayah Manggarai (Congka Sae) memiliki tiga Kabupaten.
Uraian berikut ini akan lebih difokuskan pada Kabupaten Manggarai setelah pemekaran wilayah. Penyempitan fokus uraian tersebut didasarkan pada fokus kegiatan investigasi yang dilaksanakan oleh JPIC OFM-Indonesia dan dibantu oleh JPIC SVD-Provinsi Ruteng dan LSM SOPPAN. Meskipun demikian, sejumlah daerah pertambangan yang termasuk wilayah administratif Kabupaten Manggarai Timur, akan dibahas juga. Mengingat bahwa daerah-daerah itu - daerah Satar Punda, Satar Teu dan Golo Rawang, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur - juga menjadi fokus investigasi pertambangan.
1.1. Kondisi Geografis
Secara geografis wilayah Kabupaten Manggarai terletak di antara 8º LU - 8º.30 LS dan 119,30º`- 12,30º BT. Batas-batas wilayah sbb:
o Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai Barat
o Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores
o Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Manggarai Timur
o Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu.
Secara administratif, Kabupaten Manggarai - setelah mengalami proses pemekaran wilayah pemerintahan menjadi tiga Kabupaten - memiliki 9 wilayah Kecamatan:
Kecamatan Ibukota
- Langke Rembong Ruteng
- Ruteng Cancar
- Wae Rii Timung
- Satar Mese Iteng
- Cibal Pagal
- Satar Mese Barat Narang
- Reok Reo
- Rahong Utara Rahong
- Lelak Ketang
Jumlah penduduk Kabupaten Manggarai (termasuk Kabupaten Manggarai Timur), minus Kabupaten Manggarai Barat, sekitar 600.000 jiwa, dengan luas wilayah 7.136,4 km².
1.2. Kondisi Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi
Kendati sebagian besar wilayah di Nusa Tenggara Timur termasuk daerah yang gersang dan kering, namun wilayah Kabupaten Manggarai pada umumnya lebih subur dan memiliki curah hujan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Curah Hujan rata-rata 2.440,9 Mm dengan Suhu Udara minimum 18,3ºC. Kondisi iklim ini memungkinkan dan mendorong pengembangan sektor pertanian secara lebih baik dan maju. Luas areal sawah 23.403 ha dan tegalan/ladang berjumlah 76.328 ha. Kurang lebih 14,5 ha digunakan untuk lahan perkebunan, sebaliknya 54.325 ha untuk kebun campuran, yang dimanfaatkan untuk mengembangkan tanaman umur panjang dan komoditi. Sesungguhnya, Kabupaten Manggarai merupakan daerah yang kaya akan sumber alam yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Mayoritas masyarakat di Kabupaten Manggarai berprofesi sebagai petani. Para petani mengembangkan tanaman komoditi yang memiliki daya saing pasar, seperti Kopi (produksi tahun 2001: 9.401 ton, dengan nilai export US$ 1.692.790.40), Jambu Mete (Produksi tahun 2001: 1.073 ton), Vanili (produksi tahun 2001: 114 ton).
Didukung oleh curah hujan yang cukup memadai setiap tahun, Kabupaten Manggarai telah mengembangkan sektor pertanian sebagai sektor yang paling berperan dominan terhadap PDRB Kabupaten Manggarai. BPS Kabupaten Manggarai tahun 2004 menunjukkan sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Manggarai sebesar 53,71%. Dalam rentang waktu antara tahun 2004-2008 menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan reformasi kebijakan dan upaya-upaya peningkatan perekonomian Kabupaten Manggarai. Dalam Pidato Radio Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, pada kesempatan Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-63 (16/8/2008), dinyatakan bahwa ”pertumbuhan ekonomi Kabupaten Manggarai mengalami peningkatan sebesar 4,6%”. Keadaan pertumbuhan ekonomi dua tahun terakhir sbb:
Tahun | Laju Pertumbuhan ekonomi (%) | Pencapaian PDRB (Rp) | Pencapaian Pendapatan Perkapita (Rp) |
2006 | 3,90 | 1.149.025.638.000 | 2.249.577 |
2007 | 4,0 <4,6> | 1.251.070.727.000 | 2.314.946 |
Kegiatan perekonomian Kabupaten Manggarai didominasi oleh sektor pertanian dengan menempatkan produksi pangan , khususnya beras sebagai produksi hasil pertanian yang cukup memadai didukung oleh hasil produksi tanaman komoditi. Menurut Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, ”Pembangunan perekonomian mengalami perkembangan yang positif yang dapat digambarkan dengan membaiknya laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Manggarai (termasuk Kabupaten Manggarai Timur”. Hal ini terpancar dari peningkatan perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) saat ini. Pada tahun 2008, Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat hingga 20,94 % setara dengan Rp. 20.000.000.050. Grafik pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan kecenderungan peningkatan ini menegaskan adanya kesungguhan komitmen Pemerintah dan masyarakat dalam membangun wilayah ini berdasarkan potensi-potensi unggulan yang dimiliki.
Untuk menunjang peningkatan perekonomian rakyat secara signifikan, maka Pemerintah Kabupaten Manggarai memberi perhatian pada pembangunan infra struktur jalan demi kelancaran akses perekonomian dari desa ke kota atau sentra-sentra perekonomian. Masyarakat memanfaatkan kelancaran arus lalu lintas ekonomi ini untuk membawa hasil-hasil pertanian mereka ke pasar. Meski demikian, masih nampak sejumlah ruas jalan yang masih akan diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya.
1.3. Potensi Unggulan di bidang agribisnis dan Pariwisata
Kabupaten Manggarai memiliki potensi unggulan di bidang agribisnis terkait dengan sejumlah tanaman komoditi yang dikembangkan di daerah ini. Kopi menjadi tanaman komiditi unggulan yang memiliki nilai eksport yang kompetitif. Hampir di semua kecamatan, tanaman kopi dibudidayakan oleh masyarakat di lahan-lahan mereka. Selain itu, jambu mete dan vanili juga tergolong potensi unggulan yang mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kabupaten Manggarai yang terkenal subur dibandingkan dengan sejumlah daerah lain di Nusa Tenggara Timur, juga mengembangkan tanaman-tanaman komoditi lain yakni: cengkeh, kemiri dan kakao.
Kabupaten Manggarai sesungguhnya tidak miskin. Ada sejumlah potensi unggulan di bidang pariwisata yang belum dikelolah secara profesional dan memadai untuk mendukung PAD. Sebut saja, Ruteng Pu’u – desa tua dengan halaman bundar yang tersusun rapi dari batu. Todo, kampung tua yang memiliki nilai historis budaya dan kerajaan Manggarai. Wae Rebo, Kampung tradisional di tengah daerah pegunungan dengan empat rumah adat tua peninggalan dari masa lalu. Kabupaten Manggarai juga menyimpan sejumlah obyek wisata tirta / bahari yang memesona, antara lain, Pantai Ketebe, pantai pasir putih yang indah juga tempat yang cocok untuk diving. Liang Bua, tempat yang menghebohkan abad ini terkait dengan penemuan fosil manusia purba (homo floresiensis) dan benda-benda purbakala. Ulumbu menjadi salah satu obyek wisata menarik yang menyajikan panorama sumber gas alam atau panas bumi yang menjadi sumber energi alam alternatif.
1.4. Potensi Mineral
Potensi mineral di wilayah Manggarai pada umumnya - berdasarkan pemetaan geologi dan hasil penyelidikan geokimia regional dan eksplorasi - ternyata memiliki beberapa tipe pemineralan dan panas bumi yang tersebar di beberapa lokasi. Beberapa jenis mineral, antara lain emas (Au), Mangan (Mn). Logam Dasar dan mineral-mineral ikutannya tersebar di sejumlah daerah. Salah satu mineral yang sangat dominan tersebar di sejumlah daerah jebakan adalah mangan (Mn) yang terdapat di daerah kecamatan Cibal, Reok dan Satar Mese (sebagian besar lokasi sebaran mangan terdapat di wilayah Golo Rawang, Satar Punda, Satar Teu, Ponglalap, Rokat, Tumbak dan Waso kecamatan Lambaleda, Merong di Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur). Jenis mineral seperti logam dasar tersebar di wilayah Kecamatan Reok. Emas (Au) ditemukan di daerah Kecamatan Elar, Lambaleda, Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur. Sebaran mineralisasi mangan (Mn) halus dengan ketebalan kurang dari 1 cm di Kabupaten Manggarai Barat ditemukan di daerah Metang, desa Waebuka, Kecamatan Kuwus. Selain itu, endapan mangan (Mn) juga dijumpai di Nangasu, desa Mbakung; Melana dan Mena desa Nggilat serta Lake desa Rokap.
Kendati Potensi Mineral di Kabupaten Manggarai dan seluruh wilayah Manggarai pada umumnya, sangat menjanjikan untuk bisa dieksploitasi, namum tidak serta merta hal itu dapat dilaksanakan tanpa sebuah kajian yang akurat terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Satu hal yang perlu dipertimbangkan secara cermat adalah posisi daerah Kabupaten Manggarai dan Manggarai secara keseluruhan yang rawan gempa dan yang berada di atas lempengan bumi yang senatiasa bergerak. Posisi daerah ini juga persis berada dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dengan gunung-gunung api yang masih aktif, seperti Gunung Anaka di gugusan pegunungan Mandosawu.
Data dari Pusat Sumber Daya Geologi, tahun 2007, menunjukkan bahwa deposit mangan Golo Rawang sangat menjanjikan, sebagaimana tergambar dalam peta berikut ini:
II
SEKILAS SEJARAH MASUKNYA INVESTASI PERTAMBANGAN
”Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang,
tapi tidak cukup untuk satu orang serakah.”
Mohandas K. Gandhi, Pemimpin spiritual India
2.1. Posisi Sektor Pertambangan dalam Panca Program Pembangunan Kabupaten Manggarai
Berdasarkan visi “Terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan Kabupaten Manggarai secara adil dan merata yang diridhoi Tuhan Yang Mahaesa”, Pemerintah Kabupaten Manggarai menegaskan arah pembangunan menuju tercapainya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat Kabupaten Manggarai.
Panca Program Pembangunan Kabupaten Manggarai 2005-2010 sebagai implementasi dari visi dasar pembangunan, mengedepankan lima agenda pokok pembangunan Sbb:
1. Meningkatkan ekonomi masyarakat Manggarai
2. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Manggarai
3. Mewujudkan iklim pendidikan yang demokratis dan bermutu
4. mewujudkan perbaikan mutu pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup
5. Mewujudkan supremasi hukum dan hak azasi manusia.
Dalam Panca Program Pembangunan, yang diistilahkan dengan KON-SE-P BER-SIH, Pemerintah Kabupaten Manggarai mendorong pengembangan sektor pertambangan sebagai bagian dari perwujudan pembangunan misi ke empat, yakni pengelolaan sumber daya alam. Sesungguhnya penyelidikan terhadap potensi pertambangan di Kabupaten Manggarai dan Manggarai secara keseluruhan telah dimulai sejak masuknya PT. Aneka Tambang (1980) untuk mengadakan penyelidikan potensi mineral di wilayah ini. Penyelidikan itu terus dilakukan hingga sekarang.
2.2. Pemetaan wilayah investasi pertambangan di Kabupaten Manggarai
Hasil penyelidikan-penyelidikan selama ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Manggarai (termasuk Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai Timur) memiliki potensi bahan galian A, B dan C. Berikut ini gambaran umum tentang kronologi sejarah pertambangan di Kabupaten Manggarai (termasuk Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai Timur):
TAHUN | LEMBAGA | KEGIATAN | KETERANGAN |
1980 | PT. Aneka Tambang | Penyelidikan umum dan Eksplorasi tambang Mangan | |
| PT. Nusa Lontar Mining dan PT. Flores Indah Mining (Billiton) | Eksplorasi bahan mineral | |
1993 | Geological Research and Development Centre (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi) | Pemetaan Geologis tentang segi empat Ruteng (Geological Map of The Ruteng Quadrangle) | |
| PT. Istindo Mitra Perdana | Studi Kelayakan Penambangan Mangan di Reo | |
1994 | Direktorat Sumberdaya Mineral | Penyelidikan Pendahuluan Logam Besi dan Panduan Besi | |
1996-1997 | Direktorat Sumberdaya Mineral | Eksplorasi Pendahuluan Bahan Galian Industri di daerah Kabupaten Manggarai | |
| Direktorat Sumber Daya Mineral Bandung | Pemetaan semi mikro terhadap 35 bahan galian golongan C | |
| ?? | Penggalian mangan di kampung Timbang | Lokasi penggalian itu sudah ditinggalkan pemiliknya. |
1998 | PT. Flores Barat Mining (Singapura dan PT. Aneka Tambang) | Eksplorasi di wilayah Kontrak Karya Kabupaten Manggarai | |
2002 | Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung | Penyelidikan Geokimia Regional Lembar Ruteng Barat | |
2004 | PT. Istindo Mitra Perdana. | Eksploitasi Mangan di Kecamatan Lambaleda | |
2005 | PT. Sumber Jaya Asia | Eksploitasi mangan di Kecamatan Reok (Siwa & Wangkal-Kajong) | |
Hasil pemetaan dan penyelidikan geologi dan geokimia sejak tahun 1980 sampai dengan 2008 merekomendasikan sejumlah temuan mineral yang signifikan berikut ini:
1. Sejumlah daerah di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur dijumpai beberapa tipe pemineralan. Di daerah gugusan pemineralan Pesi – Kalo – Nere terdapat tipe pemineralan tembaga (Cu) yang disertai dengan emas (Au). Gugusan pemineralan yang didominasi oleh emas (Au) terdapat di daerah Kuli, Watu Cie dan Sapo. Juga ditemukan sejumlah jenis mineral di gugusan pemineralan Bari, Musur, Rawul, Encuring (Ncuring, red) dan Wangkal.
2. Keterdapatan endapan mangan di Kabupaten Manggarai (dan Manggarai Barat dan Manggarai Timur) di Kecamatan Reok, Cibal, Lambaleda dan Sambi Rampas. Endapan mangan yang ditemukan itu memiliki prospek yang sangat signifikan dengan 3 kategori, yaitu (1) endapan mangan yang sedang ditambang, (2) endapan mangan yang telah ditambang dan (3) endapan mangan yang masih merupakan tahap kegiatan eksplorasi. Daerah-daerah yang ditemukan sebaran mineralisasi mangan antara lain di Ponglalap, Rokat, Tumbak, Waso dan Merong, Kajong, Lante, Wangkal, Kubis, Meas, Kadung dan Ngampur. Khusus untuk endapan mangan di kampung Wangkal, cukup menarik karena persis di kampung. Demikian juga di Kampung Meas, endapan mangan dekat dengan kampung sehingga kampung harus dipindahkan manakala lokasi mangan di wilayah itu akan dieksploitasi
3. Endapan mineralisasi mangan yang dijumpai di Bukit Golo Rawang paling signifikan dan prospektif. Secara geologi sebarannya cukup luas. Dari puluhan lubang bor di Golo Rawang, endapan mangan primer terdapat di TP (Tempat Pemboran) 04, TP 09, TP 10, TP 11, TP 12, TP 13, TP 14. Luas sebaran I: 6000 m dengan ketebalan yang bisa diolah 6 meter dan berat jenis 4,5, menunjukkan total sumber daya: 81.000 ton mangan. Luas sebaran II: 10.000 meter dengan ketebalan yang bisa diolah 6 meter dan berat jenis 4,5 menghasilkan 135.000 ton mangan. Dengan kata lain, hasil total perhitungan sumber daya menunjukkan endapan mangan di wilayah ini berkisar antara 81.000 ton hingga 135.000 ton, dengan ketebalan hingga 6 meter.
Kurang lebih selama kurun waktu 3 tahun, 2004 – 2007, Pemerintah Kabupaten Manggarai resmi mengeluarkan perijinan Kuasa Pertambangan (KP) kepada 11 perusahaan untuk melakukan aktivitas pertambangan di 20 wilayah prospek pertambangan mangan, logam dasar dan emas. Dari tabel kronologi tambang bisa terbaca bahwa Pemerintah Kabupaten Manggarai banyak menerbitkan KP di tahun 2007, sebanyak 15 kuasa pertambangan. Sebuah keputusan Pemerintah Kabupaten Manggarai (termasuk Kabupaten Manggarai Timur) di bidang pertambangan, yang menunjukkan sebuah pergeseran komitmen dari “peningkatan kualitas lingkungan” ke “penurunan kualitas lingkungan”. Bagaimana pun juga keputusan ini sangat erat pengaruhnya dengan keutuhan lingkungan hidup Manggarai, yang dipelihara secara baik selama bertahun-tahun.
Pertanyaannya adalah bagaimana model pemulihan lingkungan yang diikhtiarkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai (termasuk Kabupaten Manggarai Timur) ketika 11 perusahaan itu menghancurkan 20 areal pertambangan yang sudah diijinkan untuk aktivitas pertambangan? Mungkinkah biaya-biaya pemulihan kerusakan lingkungan yang permanen di seluruh areal pertambangan itu mencukupi, sementara dana reklamasi atau pemulihan pasca penambangan hanya dijamin dengan Rp. 25.000.000 per tahun?
Tabel berikut ini menunjukkan Pemetaan wilayah Ijin Kuasa Pertambangan bahan Galian golongan B Di Kabupaten Manggarai, yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai dari tahun 2004 sampai dengan 2008. Bila diteliti data-data berikut ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Kabupaten Manggarai mengeluarkan sejumlah ijin Kuasa Pertambangan yang di luar wewenangnya, karena menyangkut bahan galian golongan A (Emas), yang ijinnya hanya diberikan oleh Presiden melalui Menteri Energi Sumber Daya Mineral:
III
KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN MANGGARAI TERHADAP INDUSTRI PERTAMBANGAN
“Tanah mestinya dibagi-bagi,
jika cuma segelintir orang yang menguasai,
bagaimana hari esok kaum tani.
Tanah mestinya ditanami
sebab hidup tidak hanya hari ini.
Jika sawah diratakan, rimbun semak pohon dirubuhkan.
Apa yang kita harapkan dari cerobong asap besi.
Wiji Thukul: Puisi Tanah, 1989 – Solo.
1. Otonomi Daerah: Peluang Mengembangkan Potensi Daerah?
Pemberlakuan UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999, lalu direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 memberikan ruang dan peluang sebesar-besarnya kepada pemerintah Kabupaten dan kota untuk mengembangkan potensi yang ada di daerah dan dapat mengolah sumber daya alam secara lebih baik semata-mata demi kepentingan dan kemajuan masyarakat, demi pembangunan daerah yang berkelanjutan dan demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Dalam kebijakan pembangunannya, pemerintah Kabupaten Manggarai menilai investasi pertambangan khususnya galian B menjadi salah satu sektor yang perlu ditingkatkan dan perlu digali. Investasi pertambangan bahan galian B khususnya Mangan menjadi investasi terbesar yang sedang digalakkan oleh pemerintah Kabupaten Manggarai dalam hal ini Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok dan Wakil Bupati, Dr. Camelus Deno, SH, MM bersama dinas terkait seperti Dinas Pertambangan, Dinas Kehutanan dan Badan Pengendali Dampak Lingkungan. Investasi pertambangan mangan sangat dimungkinkan karena berdasarkan data dan catatan Pusat Sumber Daya Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan bahwa daerah Flores, termasuk Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur merupakan daerah yang mempunyai sebaran endapan mangan yang cukup potensial, baik yang telah diketahui maupun yang masih indikasi. Khusus untuk wilayah Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur, hasil penyelidikan menyebutkan bahwa daerah Kecamatan Reok, Lambaleda, Cibal, dan Kecamatan Kuwus, Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat merupakan daerah-daerah potensial bahan mineral jenis mangan. Potensi dan indikasi dari hasil penyelidikan inilah yang mendorong para investor tambang untuk menanamkan investasinya di Kabupaten Manggarai untuk mengambil dan mengeruk bumi Congka Sae. 20 Kuasa Pertambangan yang telah diterbitkan untuk beberapa perusahaan menjadi tanda bahwa Manggarai dan termasuk dua kabupaten pemekaran yaitu Manggarai Timur dan Manggarai Barat siap dibongkar-bangkir.
Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok dalam wawancara dengan tim investigasi menyatakan bahwa potensi bahan mineral yang ada di Kabupaten Manggarai jangan dipendamkan begitu saja. Potensi itu perlu digali dan digunakan demi kesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah Manggarai. “Bagi pemerintah daerah ada potensi tambang, kalau itu tidak digali maka itu tidak ada manfaat untuk masyarakat sendiri maupun pemerintah”, tandas Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok. Sehingga tidaklah mengherankan kalau Pemerintah Kabupaten Manggarai sangat giat untuk menerima investor yang ingin menanamkan investasinya di bidang pertambangan.
Semua harus sepakat bahwa pertambangan di mana-mana selalu membawa kehancuran baik kehancuran alam-lingkungan maupun kehancuran bagi penghuni bumi khususnya masyarakat yang ada di lingkar tambang. Menarik untuk disimak adalah paparan visi dan misi pemerintah Kabupaten Manggarai dalam hal ini Bupati dan wakil Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok dan Dr. Kamilus Deno, SH.MM dalam masa kepemimpinan mereka 2005-2010. Misi Kabupaten Manggarai adalah Terwujudnya Kemakmuran Dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Manggarai Secara Adil Dan Merata Yang Diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Visi ini diimplementasikan dalam misi atau panca program pembangunan. Pada butir ke-4 misi itu berbunyi demikian: agenda mewujudkan perbaikan mutu pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup. Panca program ke-4 ini bila didalami secara baik berdasarkan hati nurani dan akal sehat demi menjaga kelestarian alam dan menjaga mutu lingkungan hidup sangat bertentangan dengan strategi pelaksanaan pembangunan di lapangan. Sulit untuk mengatakan bahwa aktivitas pertambangan tidak menghancurkan keutuhan alam, hutan, dan air. Maka kebijakan pemerintah Kabupaten Manggarai dalam investasi tambang sama sekali tidak sejalan dengan visi dan misi yang mereka emban. Pertanyaan kita, mengapa pemerintah Manggarai begitu mudah untuk memberikan 20 Kuasa Pertambangan kepada Investor, andaikata mereka menyadari bahwa investasi pertambangan ini tidak sejalan dengan visi dan misinya?
Ditilik dari laju pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu barometer pembangunan suatu daerah, keadaan perekonomian Kabupaten Manggarai sampai sejauh ini masih didominasi oleh sektor pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai 2004, sektor pertanian menyumbang 53, 71 % (2004) terhadap pendapatan regional Kabupaten Manggarai dari pada sektor lainnya, termasuk pertambangan. Tentu saja ada perubahan dan perkembangan baru tentang perubahan data tersebut. Paling tidak hal itu dapat menggambarkan secara jelas sektor-sektor mana yang selalu memberi sumbangan yang terbanyak untuk pendapatan daerah dan pembangunan di Kabupaten Manggarai dalam membantu laju pembangunan Kabupaten Manggarai (Lihat tabel berikut)
Peranan Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Kabupaten Manggarai Tahun 2000-2003
Sektor | Peringkat | 2001 | 2002 | 2003 |
1. Pertanian | I | 60,45 | 59,34 | 53,71 |
2. Pertambangan dan Panggalian | 7 | 2,42 | 2,47 | 2,45 |
3. Industri Pengolahan | 8 | 0,86 | 0,85 | 1,04 |
4. Listrik dan Air Bersih | 9 | 0,57 | 0,57 | 0,35 |
5. Bangunan / Konstruksi | 4 | 7,58 | 7,59 | 7,44 |
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran | 3 | 8,93 | 10,3 | 10,26 |
7. Pengangkutan dan Komunikasi | 5 | 3,85 | 3,45 | 4,19 |
8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan | 6 | 2,37 | 2,32 | 2,85 |
9. Jasa – Jasa | 2 | 12,97 | 13,1 | 17,71 |
PDRB | | 100,00 | 100,00 | 100,00 |
Sumber : BPS Kabupaten Manggarai, 2004
Dalam hitungan Dinas Pertambangan Kabupaten Manggarai, setiap tahun Pemerintah Kabupaten Manggarai menerima kurang lebih Rp 125.000.000,- dari perusahaan pertambangan mangan. Sementara menurut Wakil Bupati Kabupaten Manggarai, Dr. Kamilus Deno, SH.MM dalam wawancara dengan tim investigasi, menyatakan bahwa dana riil yang didapat dari perusahaan tambang hanya 80-an juta rupiah; “.... data kita tahun 2007 kita hanya mendapat 82 juta dari bagi hasil dari catatan Dispenda. Jadi kita tak pernah tahu berapa harga tambang, memang kita mendapat sekian persen dari harga jual. Tapi kita tidak tahu harga jualnya berapa. Kalau dia kasih ke kita 50 juta kita bilang baik”, jelas Wakil Bupati Manggarai tentang kontribusi atau dukungan untuk PAD dari perusahaan tambang Mangan di Kabupaten Manggarai.
Tabel berikut ini menunjukkan perhitungan harga mangan berdasarkan harga internasional untuk PT. Sumber Jaya Asia:
Tahun Produksi | Kapasitas Produksi (Tahun/ton) | Pendapatan dalam Dollar/ton | Pendapatan dalam Rupiah 1$=Rp 9000 | Sumbangan bagi PAD + Biaya Reklamasi |
2006 | 60.000 | 73.500.000 (1.225) | 661.500.000.000 | 107.000.000 |
2007 | 60.000 | 243.000.000 (4.050) | 2.187.000.000.000 | 107.000.000 |
2008 | 60.000 | 243.000.000 (4.050) | 2.187.000.000.000 | 107.000.000 |
Total | 180.000 | 559.500.000 | 5.035.500.000.000 | 321.000.000 |
Tabel di atas hanya salah satu perhitungan dari PT Sumber Jaya Asia tiga tahun terakhir, yang melakukan eksploitasi di Bonewangka, Torong Besi Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, tidak termasuk PT Arumbai Mangabekti yang beroperasi di Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Kapasitas produksi pertahun setiap perusahaan berbeda-beda. Kami hanya mencoba memasukkan data produksi yang disampaikan oleh pihak perusahaan saat investigasi. Menurut Manager PT Sumber Jaya Asia, Libertus Magung, setiap tahun perusahaan yang melakukan eksploitasi di Bonewangka, Torong Besi mengangkut hasil mangan ke China sebesar 60.000 ton, “Jumlah mangan yang dihasilnya setiap tahunnya Biasanya satu tahun tiga kali pengapalan bisa 60 ribu ton’’. Sementara PT Arumbai Mangabekti yang melakukan eksploitasi di Lokasi Satar Punda sejak tahun 1999, setiap tahun mengangkut 45 ribu ton Mangan. ‘’Sejak tahun 1999 sampai sekarang setahun kami dua-tiga kali pengapalan, dan setiap pengapalan bisa 15-16 ribu ton’’, jelas Manager PT Arumbai Mangabekti, Madi, dan menutup-nutupi data pasti mengenai jumlah mangan yang sudah diproduksi dan diangkut oleh PT Arumbai Mangabekti.
Dari perhitungan itu kita bisa mengatakan bahwa pertambangan mangan di satu sisi memang memberikan hasil yang menggiurkan. Hanya persoalannya, hasil yang menggiurkan itu hanya untuk perusahaan tambang yang memiliki modal. Di sisi lain, Kabupaten Manggarai yang memiliki sumber daya mineral itu hanya mendapatkan seper sekian dari pendapatan sebenarnya, sementara yang banyak kita dapatkan adalah kehancuran dan kehilangan kekayaan alam itu sendiri serta ekologi (dalam lingkungan hidup: tanah, air, hutan) yang merupakan modal kehidupan jangka panjang manusia Manggarai, bukan saja untuk generasi sekarang, tapi untuk generasi yang akan datang.
Itu perhitungan kasar dan tentu saja perlu juga memperhatikan fluktuasi mata uang dunia. Tetapi perhitungan itu menggambarkan betapa Pemerintah Kabupaten Manggarai, entah karena kekurangan informasi atau karena memang tergiur dengan uang jutaan rupiah dari perusahaan begitu saja membiarkan hasil mangan dari bumi Manggarai dibawah pergi dan hanya meninggalkan sejumlah uang yang tidak bisa mensejahterahkan dan memakmurkan seluruh masyarakat di Manggarai seperti yang tertuang dalam visi pembangunan pemerintah Kabupaten Manggarai. Alih-alih bisa mensejahterahkan masyarakat Manggarai seluruhnya, masyarakat yang ada di lingkar tambang saja hidupnya tidak berubah dari tahun ke tahun. Yang berubah adalah sumber kehidupan mereka, hutan, tanah dan air hancur dan tidak bisa dipulihkan lagi.
Dari perhitungan kasar itu juga kita bisa mengatakan pemerintah Kabupaten Manggarai telah kecolongan dan mungkin sudah dibohongi oleh pemodal karena kekurangan informasi seperti yang diungkapkan oleh wakil bupati Manggarai, Dr. Kamilus Deno, SH.MM.: “Makanya kemarin di rumah jabatan saya agak curiga dan bertanya usaha penyelidikan umum ko sampai tiga tahun tidak berhenti-berhenti dan keluar duit sampai milyar-milyar, 20 sampai 50 milyar lebih. Itu kan yang kita lihat, rakyat tidak lihat itu. Karena itu kita diskusi kau ini jangan tipu pemerintah juga. Kita terbuka dengan mereka. Pemain tambang ini banyak. Sekarang harga bahan tambang lagi naik. Mangan misalnya, yang semula untuk campuran baja, di China sekarang untuk membuat stainless. Kita juga tidak pernah tahu harga mangan berapa sih?”.
Jelas bahwa investasi pertambangan mangan belum menjadi penentu pembangunan ekonomi di Kabupaten Manggarai. Bahkan sebaliknya, di masa kini dan yang akan datang, industri pertambangan justru akan menghancurkan kehidupan masyarakat karena tidak memberikan keuntungan signifikan baik secara ekonomi maupun social kepada masyarakat. Kegiatan pertambangan mangan selain merusak tanah dan ekologi secara keseluruhan juga mengurangi areal pertanian secara kuantitatif, padahal sektor pertanian memberikan dukungan terbesar bagi PAD Kabupaten Manggarai.
Karena itu kebijakan pembangunan di bidang investasi pertambangan perlu dikaji ulang kalau tidak ingin tanah Manggarai hancur berantakan di kemudian hari dan masyarakat menjadi merana dan terasing karena tidak punya tanah lagi untuk tinggal dan mempertahankan kehidupannya. “Masyarakat gantung periuk nasi di Perusahaan. Dulu kami bisa hidup sehat dan panjang. Tetapi sejak perusahaan bapak datang, hidup kami tidak bisa panjang dan sehat lagi”, ujar Ibu Nelly, salah seorang warga Lingko Lolok, yang bekerja di PT. Arumbai Mangabekti.
Pertanyaannya apakah model pembangunan atau kebijakan pembangunan di bidang investasi pertambangan seperti ini sungguh-sungguh sejalan dengan amanat otonomi daerah yang sesungguhnya?
Apa yang terlihat di sini sebenarnya mengabaikan dua hal pokok. Pertama, daerah dilihat hanya sebagai wilayah ekonomis dan bukannya sebagai wilayah sosiokultural di mana masyarakat harus sungguh-sungguh menjadi subjek pertambangan. Kedua, model seperti ini mengabaikan atau meminggirkan peran dan keberadaan masyarakat dengan hak-hak sosial, ekonomi, budaya dan sipil politik. Amatlah ironis bahwa pelaku pembangunan dipercayakan kepada investor yang datang dan pergi sementara masyarakat dibiarkan menjadi penonton atau pelaku sekunder sambil menanggung akibat negatif untuk jangka panjang. Karena itu tepatlah yang dikatakan oleh Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Emil Salim: “pola pembangunan perlu diubah dari proses pembangunan satu jalur-single track-‘ekonomi saja’ menjadi Proses Banyak Jalur-Multi track-‘ekonomi, social, dan lingkungan”.
2. Mekanisme dan Koordinasi Yang Tidak Jelas
Sebuah lembaga investasi di bidang pertambangan harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat dan mengikuti prosedur yang sudah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pertambangan No. 11 tahun 1967 sebelum melakukan kegiatan pertambangan. Proses kegiatan pertambangan biasanya dimulai dengan SKIP (Surat Kuasa Izin Pemantauan) yang disusul dengan izin kuasa pertambangan (KP) yang diberikan kepala daerah (Mineral Galian B dan C) dan atau Menteri ESDM atas nama Presiden RI (untuk Mineral galian A). Izin KP meliputi KP penyelidikan umum, KP eksplorasi, dan KP eksploitasi.
Ketika dimintai keterangan tentang mekanisme perijinan terhadap 20 KP yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Manggarai, ada indikasi bahwa terjadi tumpang tindih prosedur perijinan, mekanisme dan koordinasi antar dinas, sebagaimana terlihat dalam beberapa hal berikut ini.
Pertama, pemberian izin eksploitasi di hutan lindung. Wilayah Soga 1 dan 2 yang sekarang ini sedang dieksploitasi oleh PT Sumber Jaya Asia dengan investor dari China merupakan hutan lindung yang berada dalam RTK 103. Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 38 ayat 3, menegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan baru dilakukan setelah mendapat izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Tapi pemerintah terkesan membiarkan begitu saja PT Sumber Jaya Asia merambah hutan, menghancurkan bukit yang selama ini dilindungi dan bukit itu hancur berantakan karena pengambilan mineral mangan menggunakan dinamit yang punya efek rusak yang besar dan daya hancur bagi lingkungan dan penghuni manusia di sekitar areal pertambangan tanpa terlebih dahulu mendapat izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan.
Pemerintah bukannya tidak tahu tentang hal ini. Pejabat sementara Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai, Clemens Ngangga menegaskan hal itu: “Kegiatan perusahaan di lokasi Soga 1 dan 2 mau dikatakan legal juga masih tanda tanya, karena masih satu izin yang belum dipenuhi. Mau dikatakan tidak legal ia sudah memiliki ijin eksploitasi...Dalam konteks Soga 1 dan 2 kami memang serba salah. Kami kan baru tahu bahwa mereka belum memiliki ijin pakai kawasan hutan”.
Tapi ada kesan dinas terkait saling menyalahkan, dan ini menunjukkan tidak adanya koordinasi diantara dinas-dinas seperti terungkap dari pernyataan Kepala Dinas Pertambangan berikut ini: “Kita sudah berkoordinasi dengan dinas kehutanan. Kadang-kadang kawasan hutan berubah-ubah terus. Ini memang menjadi persoalan bagi kami. Dinas kehutanan mengatakan bahwa di bawah itu adalah kawasan hutan. Saya bilang kalau itu kawasan hutan, tunjukkan petanya sehingga kami bisa mencari rekomendasi dari Menteri,” (Ir. Maximus Ngkeros, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai).
Sebaliknya Dinas Kehutanan menanggapi pernyataan Kepala Dinas Pertambangan sbb: “Yang menjadi keprihatinan kami selama ini khususnya kegiatan yang dilakukan dalam kawasan hutan, koordinasi dari dinas pertambangan dengan kita kurang kami rasakan. Ini kami buktikan berkaitan dengan kegiatan penambangan di Soga 1 dan 2. Seharusnya atau paling tidak dinas pertambangan, sebelum mereka memberi izin untuk melakukan eksplorasi, mereka harus tanyakan terlebih dahulu, apakah perusahaan sudah mendapatkan atau memegang izin pinjam pakai kawasan atau tidak. Ini menandakan koordinasi kami belum berjalan dengan baik”.
Mekanisme dan koordinasi yang tidak jelas ini tentu saja menguntungkan perusahaan. Mereka seolah-olah tidak mau tahu apakah wilayah ini masuk dalam kawasan hutan lindung atau tidak. Yang penting bagi perusahaan adalah menghitung hasil dari usaha pengerukan bumi Manggarai. Kendatipun demikian pihak perusahaan juga merasa resah ketika mengetahui bahwa Soga 1 dan 2 berada dalam kawasan hutan lindung. Tapi menariknya pihak perusahaan terkesan menghindar dan menyalahkan perusahaan sebelumnya yang sudah melakukan eksploitasi. “Kenapa Arumbai tidak dipermasalahkan, kog sekarang muncul kami baru dipermasalahkan. Kami kan hanya melanjutkan. Penjelasan dari dinas kehutanan memang, ini tidak bisa kembali ke belakang lagi, karena ini sudah berjalan, kecuali kalau ada kendala dalam peraturan, ya..kita harapkan bagaimana persisnya” kata Libertus Magung, Manager PT. Sumber Jaya Asia.
Kedua, Ketidakmampuan pemerintah Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pertambangan juga terlihat ketika berbicara tentang tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pengembangan masyarakat atau Corporate Social Responsibility (CSR). Kepala dinas pertambangan Kabupaten Manggarai, Ir. Maximus Ngkeros mengatakan bahwa pengembangan masyarakat itu tergantung pada kondisi sosial masyarakat di lokasi pertambangan. “Itu tergantung pada kondisi sosial masyarakat di lokasi pertambangan. Program inikan baru datang dari pusat tahun 2004”. Tapi kalaupun CSR itu program dari pusat dan baru disosialisasikan tahun 2004, pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih cepat melihat kondisi sosial masyarakat di lokasi tambang yang memprihatinkan. Namun hal ini pun tidak menjadi alasan untuk menghindar, karena pengembangan masyarakat atau CSR itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawab perusahaan. Tugas pemerintah hanya mengawasi apakah perusahaan melakukan pengembangan masyarakat atau tidak. Menariknya pemerintah sendiri sebenarnya sudah tahu bahwa perusahaan punya tanggung jawab dalam pengembangan masyarakat, hanya saja pemerintah terkesan mengikuti saja kemauan perusahaan seperti yang terungkap dalam pernyataan Kepala Dinas pertambangan Kabupaten Manggarai, Ir. Maximus Ngkeros ini: “Kita masih melihat polanya seperti apa, masyarakat maunya seperti apa. Sehingga kalau ada masukan dari LSM tentang apa yang mau dibuat, sebab sejauh yang kami tawarkan ke perusahaan, mereka siap dan mereka tidak punya ide untuk membuat apa, sebab mereka pun bukan dari Manggarai?”. Dan yang lebih tragis lagi untuk sebuah tindakan demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pemerintah terkesan membela perusahaan. “Konsep pemberdayaan masyarakat ini kan baru muncul belakangan. Kalau kita melihat apa yang sudah diproduksi sekarang, tidak ada itu konsep CSR karena sudah hampir 14 tahun. Mereka itu dapat izin dari pusat, di sini mereka hanya melanjutkan saja. Sementara yang akan datang, sebelum mereka mengajukan KP eksploitasi, kita akan meminta mereka untuk memaparkan konsepnya untuk pemberdayaan masyarakat. Sekarang ini kita berada di tengah-tengah jalan, mereka sudah jalan baru kita masukan konsep pemberdayaan ini. Memang kita butuh waktu, dan perusahaan sendiri tidak punya konsep” jelas Ir. Maximus Ngkeros, Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Manggarai.
Persoalannya ialah perusahaan pertambangan ini bekerja di wilayah pemerintahan Kabupaten Manggarai dan itu berarti pemerintah punya wewenang untuk melakukan tindakan memanggil perusahaan kalau perusahaan tersebut tidak melakukan persyaratan yang sudah ditentukan dalam perundang-undangan pertambangan. Dan pemerintah sebenarnya punya posisi tawar dengan perusahaan ketika terjadi peralihan KP dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Perusahaan yang menambang di Bonewangka misalnya, pertama kali KPnya dimiliki oleh PT Aneka Tambang, yang kemudian mengalihkannya ke PT Istindo Mitra Perdana. Selanjutnya PT Istindo Mitra Perdana mengalihkannya lagi ke PT Sumber Jaya Asia yang sekarang ini sedang melakukan eksploitasi di Bonewangka dan Soga 1 dan 2 di kecamatan Reok.
Karena itu tidak beralasan jika pemerintah mengatakan perusahaan tidak punya konsep pemberdayaan karena seharusnya pada saat peralihan KP, Pemerintah dapat menggaris-bawahi hal-hal yang wajib dilakukan perusahaan terhadap masyarakat. Izin dari pusat terhadap perusahaan bukan alasan bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai utuk memperhatikan hal itu. Di sini penting untuk memaknai kembali otonomi daerah untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, Ada indikasi bahwa Pemerintah berpihak kepada perusahaan atau investor. Karena perusahaan menjawab obsesi Pemerintah bahwa potensi tambang harus digalih demi kepentingan kesejahteraan masyarakat. “Satu hal yang perlu kita sepakati adalah ini potensi dan potensi ini jangan kita biarkan ada di dalam tanah tapi dia harus digali demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat”, tegas Kamelus Deno, Wakil Bupati Kabupaten Manggarai.
Tentu semua sepakat bahwa pembangunan harus tertuju kepada kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertuang dalam UUD 45, pasal 33. Tetapi tujuan pembangunan itu tidak akan tercapai ketika masyarakat yang seharusnya menjadi subyek pembangunan dikorbankan demi kepentingan koorporasi. Hal itu terlihat di lokasi tambang di mana masyarakat lingkar tambang tidak semakin sejahtera, malah sebaliknya, sumber-sumber kehidupan mereka, seperti, tanah, air, hutan, nyaris punah.
Keberpihakan pemerintah kepada perusahaan juga terlihat dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada warga masyarakatnya. Tanpa mengurangi rasa hormat dan taat pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, ada rasa ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat berkaitan dengan perambah hutan oleh masyarakat kecil.
Pemerintah saat ini menerapkan aturan, yang menegaskan bahwa siapa yang merambah hutan akan ditangkap. Sementara itu, pemerintah membiarkan saja perusahaan tambang yang datang dan merusak hutan lindung dan kerusakan itu sulit dipulihkan ke keadaan aslinya. Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena ini kebijakan dari “atas” dan karena pemerintah menganggap masyarakat bodoh sehingga mereka tega dan sampai hati membohongi masyarakat, yang adalah rakyatnya sendiri. Dalam ketidak berdayaan mereka hanya bisa berujar: “Kami kecewa, tapi reaksi kami hanya sampai tingkat bicara saja. Kecewa karena kami kan bekerja di lingko soga itu selama tiga tahun. Mungkin sebelumnya antara perusahaan baku omong (saling bicara) bahwa di situ ada mangan sehingga kami diusir dari sana. Itu zaman Frans Dula Burhan....Dia bilang itu hutan tutupan, lingko soga itu adalah hutan tutupan. Kami juga kecewa, karena kami selama tiga tahun bekerja di situ dan mendapatkan hasilnya, tiba-tiba pemerintah bilang ini lingko dalam pal. Karena merasa bodoh kami ikut saja. Di dalamnya ada kayu, jagung dan padi. Yang kami pikir sekarang kami ditolak padahal kami bekerja di dalam bukan untuk menghancurkan tanah tapi untuk mengambil hasil dan kami bisa menghutankan kembali itu tanah. Begitu kami keluar, perusahaan tambang masuk. Yang kami pikirkan pemerintah menolak kami dan memasukan perusahaan yang sangat merugikan kami. Sehingga kami masyarakat tani yang mau bekerja ditolak. Harapan kami, kalau kami masih di situ kami mau menanam tanaman jangka panjang. Tapi ketika pemerintah mengijinkan perusahan, dalam hati kecil kami mengeluh, kalau untuk perusahaan Pemerintah memberi tanah di atas untuk dirusak, sedangkan kepada masyarakat kecil tidak. Sekarang kami rugi setelah perusahaan china itu datang, karena kami tidak punya kayu lagi untuk membangun rumah. Jadi pemerintah tidak memperhatikan kami rakyatnya”, ungkap Suri, Ketua Adat Gincu, Desa Robek, Kec. Reok
Indikasi lain terkait keberpihakan pemerintah kepada perusahaan atau investor tambang adalah ditempatkannya alat negara-polisi di lokasi industri tambang mangan untuk mengamankan aset perusahaan dari gangguan pihak luar (masyarakat). Masyarakat selalu dianggap pengganggu aktivitas. Di negara ini, sudah menjadi pengetahuan umum, di mana ada industri pertambangan beroperasi, di sana ditempatkan juga alat negara, baik polisi maupun tentara. Kisah duka rakyat Papua dan nestapa rakyat Minahasa ditambah rakyat Sumbawa adalah litani panjang dari sebuah pertautan antara kekuasaan, modal dan senjata (militer). Kehadiran dan peran mereka tentu saja membuat masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa selain tunduk mengalah pada kemauan pemerintah dan perusahaan. Sungguh disayangkan bahwa kehadiran perusahaan tambang yang seharusnya membawa peningkatan perekonomian justeru mengalami pemiskinan.
Keempat, carut-marutnya mekanisme dan koordinasi di level Pemerintahan kabupaten berdampak negatif pada masyarakat di lokasi pertambangan. Dua indikasi nyata dari hal ini dapat ditemukan pada masyarakat berupa miskinnya pemahaman masyarakat tentang kehadiran pertambangan di wilayah mereka. Masyarakat mengaitkan perusahaan pertambangan dengan pemerintahan. Karena proses hanya terjadi antara pihak perusahaan dengan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan satu hal penting yang diabaikan, yakni proses konsultasi publik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten sebelum sebuah KP diterbitkan dan sebelum sebuah perusahaan melakukan aktivitas pertambangan di sebuah wilayah. Masyarakat menilai pemerintah penguasa yang harus ditaati dan ditakuti karena mereka bekerja untuk kepentingan masyarakat. Pada hal sebenarnya yang terjadi adalah masyarakat dibohongi. “Kami diminta supaya jangan ganggu perusahaan karena mereka orang asing”, demikian Benediktus Ada, Kepala Desa Robek memberi kesaksian.
Selain dibohongi, masyarakat juga diintimidasi oleh pemerintah yang seharusnya berpihak kepada mereka. “Kami tidak bisa buat apa-apa karena pemerintah bilang, mereka dapat izin langsung dari Jakarta. Yang mengatakannya adalah Yan Ngare (2007) di kantor desa. Mereka punya uang dan kita tidak bisa buat apa-apa dengan mereka yang punya uang. Mereka bilang sekarang mereka di Bonewangka, setelah Bonewangka habis, orang naik yang digusur sekarang Soga”, kata Sius Domo, Petani, warga Robek kepada tim investigasi.
Apa yang dapat disimpulkan adalah bahwa terjadi suatu kontradiksi antara visi yang diusung dan dirumuskan dalam Panca Program dengan aplikasi praktis pada tataran implementatif. Dengung dan dendang kebijakan seperti meningkatkan kualitas lingkungan hidup, jangan merambah hutan dan tanamlah pohon untuk masa depan anak cucu masyarakat Manggarai, ternyata Cuma isapan jempol.
Lagi-lagi pada tataran kebijakan, ada komitmen bersama dengan Gereja Keuskupan Ruteng untuk memprioritaskan pemeliharaan lingkungan hidup sebagai bagian dari komitmen sosial dari keimanan umat di Keuskupan Ruteng. Itulah rekomendasi sinode keuskupan yang lalu (April, 2008). Akan tetapi di depan mata Gereja dan masyarakat pemerintah mengizinkan mesin penghancur luar biasa dari industri pertambangan untuk merusak keutuhan kawasan hutan.
Hal lain yang patut di catat adalah bahwa kebijakan pertambangan juga bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten sebelumnya. Pantai Ketebe di Desa Robek misalnya, merupakan lokasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai lokasi pariwisata bahari. Kesaksian masyarakat di Ketebe menyatakan bahwa banyak turis manca negara yang berkunjung ke tempat itu. Dan masyarakat senang karena wisatawan bisa menikmati keindahan pantai Ketebe. Selain menikmati keindahan pasir putih Ketebe, wisatawan itu juga disuguhi tarian khas Manggarai seperti Caci dan Ndudundake. Kesempatan itu masyarakat bisa menjual hasil tenunan (Songke Manggarai yang terkenal itu kepada wisatawan yang datang). “Di Robek ini adalah pantai pariwisata. Banyak turis mancanegara yang datang berkunjung ke sini. Kalau dari masyarakat paling tidak setuju kegiatan pertambangan ini. Sebab kalau pemboran sampai 60 km ke dalam, bukan tidak mungkin pinggir pantai habis. Masyarakat merasa rugi, kalau kelestarian laut rusak, jelas tamu-tamu tidak akan masuk. Itu yang masyarakat di sini kuatir. 60 meter kedalaman gamping, belum kedalaman mangannya. Itu yang mereka tidak kasih tahu”, demikian kesaksian Benediktus Ada, 64 tahun, Kepala Desa Robek.
Harapannya, Pemerintah Kabupaten Manggarai perlu meninjau kembali kebijakannya di bidang industri pertambangan kalau tidak ingin bumi Manggarai hancur berantakan. Pernyataan Bupati Manggarai berikut ini kiranya menjadi harapan yang berarti demi terciptanya keutuhan hidup dan lingkungan alam Manggarai pada masa yang akan datang. “Kalau melihat laporan selama ini baik, tidak ada yang merambah hutan seperti itu. Sehingga saya selalu mengingatkan kepada Pa Maksi (Kepala Dinas Pertambangan), kalau ada kawasan hutan jangan diberikan. Ternyata ada satu yang sudah jauh sebelum saya ingatkan itu sudah merambah. Kita jangan takut lagi pemerintah pusat. Berkaitan dengan kerusakan permanen, kalau harus ditinjau kembali, ditinjau kembali, kalau bertentangan dengan aturan yang berlaku kita keluarkan surat untuk penghentian sementara untuk kawasan tadi. Atau secara administratif kita minta kepada perusahaan dari mana izin yang ditentukan. Kalau toh ada juga izin dari Menteri Kehutanan, kita persoalkan ke pusat,” tegas Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok bersungguh-sungguh. Komitmen untuk meninjau kembali perijinan kuasa pertambangan yang sudah diberikan kepada sejumlah perusahaan pertambangan bahkan digarisbawahi oleh Wakil Bupati, Dr. Kamilus Deno, SH, MM: ”Sejak kapan pun yang namanya kawasan hutan lindung jangan diberikan ijin tambang termasuk Pemerintah Pusat”.
3. Mempersoalkan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Keberpihakan pemerintah kepada investor tentu saja berpengaruh pada rasa tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat atau Corporate Social Responsibility (CSR), khususnya masyarakat lingkar tambang yang mengalami langsung dampak pertambangan entah positif entah negatif.
Kalau mencermati proses masuk dan beroperasinya perusahaan pertambangan masyarakat lingkar tambang justru sudah mengalami marginalisasi. Dampak marginalisasi itu nampak dalam sejumlah hal berikut: (1) tidak adanya konsultasi publik untuk meminta persetujuan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan di wilayah mereka. (2) tidak adanya pencerahan masyarakat tentang pertambangan dan dampak-dampaknya untuk kehidupan mereka saat ini dan di masa yang akan datang, baik dari aspek ekonomi. Sosial-budaya dan ekologi. (3) Mereka hanya diiming-iming dengan janji-janji kesejahteraan sebagai hasil langsung dari sebuah industri pertambangan, sementara fakta lapangan menunjukkan bahwa mereka hanya menjadi buruh tambang. Fakta ini memperlihatkan bahwa mereka yang seharusnya diuntungkan oleh kekayaan yang ada di wilayahnya justru malah dikorbankan. Janji kesejahteraan yang dibawa oleh perusahaan ternyata cuma remah-remah dari keuntungan yang diperoleh perusahaan pertambangan dari isi rahim ibu bumi Manggarai. Di sini justru letak jantung persoalan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.
Apa yang disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) mesti bermuara pada pengembangan dan pembangunan masyarakat (Community Development), dengannya masyarakat menikmati akses guna mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan (pertambangan), sehingga masyarakat menjadi mandiri dan kualitas kehidupan menjadi lebih baik.
Community development juga diartikan sebagai suatu proses pengembangan sosial-ekonomi masyarakat yang didasarkan pada partisipasi aktif masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tujuan dilaksanakannya community development adalah (1) mengembangkan dan meningkatkan kualitas sosial, ekonomi dan budaya masyarakat serta sarana dan prasarana masyarakat sekitar wilayah usaha industri migas; (2) mengembangkan potensi kewira-usahaan dan kelembagaan masyarakat yang didasarkan pada potensi sumber daya lokal; dan (3) meningkatkan hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan, masyarakat lokal dan Pemerintah di daerah. Sementara sasaran yang mau dicapai adalah (1) terciptanya hubungan yang harmonis dan kondusif antara perusahaan dengan masyarakat lokal, Pemerintah di daerah dan stakeholders lainnya; (2) meningkatnya citra dan performa industri pertambangan sehingga masyarakat merasa ikut memiliki; dan (3) meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Dua indikator yang menunjukkan berhasil tidaknya CSR adalah: (1) Indikator ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan ekonominya serta terbangunnya prasarana dan sarana fisik dan non-fisik. (2) Indikator sosial: ditunjukkan dengan tidak terjadinya gejolak sosial sehingga tercipta hubungan yang harmonis antar masyarakat, perusahaan dan Pemerintah Daerah; dan meningkatnya citra sektor pertambangan di mata masyarakat dan Pemerintah Daerah.
Tugas Pemerintah dalam mendorong pelaksanaan CSR adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan. Itu berarti, Pemerintah mesti berperan sebagai mediator dan fasilitator antara perusahaan dan masyarakat dan sebagai arbitrator apabila terjadi konflik antara perusahaan dan masyarakat.
De fakto, Pemerintah Kabupaten dan perusahaan pertambangan di Kabupaten Manggarai (termasuk Kabupaten Manggarai Timur) memahami konsep CSR sebatas pada pembangunan jalan, air minum bersih, rumah gendang, rumah ibadah (kapela) bagi masyarakat, sebagaimana di ungkapkan oleh Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, “Yang mereka (perusahaan, red) sebut community development adalah memberi kontribusi pembangunan di masyarakat sekitar terutama yang bersifat umum seperti jalan raya, rumah gendang dan air minum bersih. Mereka juga membantu membangun rumah penduduk dan bahkan masyarakat di luar kawasan pembangunan, saya bisa sebutkan beberapa Gereja di dalam kota ini mereka bantu, Gereja Cewonikit dan Gereja Karot mereka bantu. Itu yang mereka sebut Community Development”. Pemahaman Perusahaan tentang CSR pun amat sangat sempit dan cenderung memanipulasi adat-istiadat masyarakat Manggarai, sebagaimana dikemukakan oleh Manajer PT. Arumbai Mangabekti: “Kalau kita masuk ke wilayah, Lingko, misalnya kami datang ke adat dan memberitahukan ke aparat desa, juga memberitahukan ke aparat pemerintah khususnya dinas pertambangan untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Di situlah kami memberikan kompensasi di antaranya kita membuatkan Gereja, Genset, rumah adat, compang, sumur... Ada kesepakatan-kesepakatan ya...bukan perjanjian. Kesepakatan. Termasuk Condev, community Development-nya ada di situ ....Soal pendidikan untuk anak-anak selama ini masih dalam rencana, dalam pendataan beberapa masyarakat di sekitar tambang”. Hal yang sama dikatakan oleh Libertus Magung, Manager PT Sumber Jaya Asia: “Peran perusahaan terhadap masyarakat sekitar adalah kami mengusahakan air minum bagi mereka. Soal listrik...bukannya berat untuk kita bantu, masalahnya adalah suplai”. Kedua penyataan dari perusahaan ini nampak jelas bahwa mereka memanipulasi makna CSR sebagai kemurahan hati perusahaan bukan kewajiban terhadap masyarakat.
Nampak jelas bahwa pertambangan tidak menguntungkan masyarakat karena realitas kemiskinan tetap ada dan pasti akan bertambah karena setelah perusahaan tambang itu pergi, mereka akan meninggalkan lahan-lahan yang tidak lagi bisa diolah untuk pertanian. Hal ini terungkap dari kesaksian para petani di Timbang, “Pengalaman kami yang pertama tempo hari, mereka mencoba tanam di tempat bekas gali mangan itu sudah tidak seperti semula, sehingga mereka merasa rugi. Kalau kita beri lagi dan hasil begini terus bagaimana anak cucu kita? (Wa para haju rakang dami ga. Co’o anak nggéré wa tai)” .
Jadi tak lagi dipungkiri bahwa kebijakan pertambangan dan realisasi CSR jauh panggang dari api. Itulah fakta yang ditemukan di wilayah tambang seperti di wilayah kecamatan Reok, Cibal dan Lambaleda. Pertambangan bukannya membawa perubahan/kemajuan masyarakat, malahan menciptakan pemiskinan baru. Tentu saja amat ekstrim kalau kita mengatakan bahwa perusahaan telah membohongi masyarakat dan atau Pemerintah. Sebenarnya hal itu sudah disadari oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai, sebagaimana diungkapkan oleh Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok: “Saya juga tidak setuju jika ditataran awal saja mereka (perusahaan) mengatakan bahwa masyarakat di sekitar itu menjadi bagian dari pembangunan, tapi dalam kenyataannya masyarakat menjadi orang asing di negeri sendiri. Itu saya tidak suka. Maka dengan adanya potensi pertambangan di wilayah itu masyarakat juga harus diuntungkan”.
4. Konsultasi Publik dan Bukan Sosialisasi
Kebijakan pembangunan yang memperlakukan masyarakat sebagai subyek pembangunan, mestinya membuka ruang bagi peran serta masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, setiap kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak seharusnya mendapat persetujuan masyarakat melalui konsultasi publik. Demikian juga halnya dengan kebijakan di bidang pertambangan. Sebuah perusahaan pertambangan hanya bisa beroperasi/melaksanakan aktivitas pertambangannya di sebuah wilayah, setelah ada persetujuan dari masyarakat (lisensi masyarakat) melalui mekanisme publik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten.
Rencana masuknya industri pertambangan di Kabupaten Manggarai terkesan tanpa melalui sebuah konsultasi publik. Pemerintah seringkali menggunakan kata sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan kehadiran perusahan tambang. Sosialisasi sebenarnya hanya memberi ruang terbatas kepada masyarakat untuk menyatakan sikap mereka tentang kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah. Di sini masyarakat tidak punya posisi tawar lagi dengan pemerintah. Apalagi pemerintah sudah mengintimidasi masyarakat dengan kuasa yang dimilikinya.
Yang dilakukan seharusnya konsultasi publik yang memberikan ruang yang luas kepada masyarakat untuk menyatakan pendapatanya berkaitan dengan sebuah kebijakan besar, seperti industri pertambangan yang membawa dampak besar bagi masyarakat. Pentingnya konsultasi publik juga untuk mendengarkan secara langsung pendapat masyarakat khususnya masyarakat yang ada di lokasi tambang dan di lingkar tambang berkaitan dengan kehadiran industri pertambangan. “Sejak tahun 2004 masyarakat sudah berkumpul dan sebetulnya masyarakat tidak setuju ada pertambangan karena dampak dari segi lingkungannya dan merugikan masyarakat pada masa yang akan datang.”, tandas Mikael Encok, 56, Mantan Kepala Desa Robek, Mantan pekerja tambang PT Arumbai, Petani.
Tanpa persetujuan masyarakat izin KP seharusnya tidak bisa dikeluarkan dan dengan sendirinya batal demi hukum. Demikian pula halnya dengan Amdal yang sering kali digunakan untuk mematahkan perlawanan rakyat. Seharusnya AMDAL tidak bisa mengabaikan peran serta masyarakat untuk menentukan kelayakan sebuah aktivitas pertambangan.
Yang terjadi di Kabupaten Manggarai terkait masuknya industri pertambangan, Pemerintah Kabupaten begitu saja menerima perusahaan tambang tanpa melalui proses konsultasi publik terlebih dahulu. Demikian juga AMDAL dilakukan tanpa partisipasi semua pihak termasuk masyarakat. Terasa janggal bahwa Pemerintah kabupaten memberikan ijin KP sebelum menilai kepantasan AMDAL sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan ijin Kuasa Pertambangan (KP). Seperti terjadi dalam kasus pertambangan mangan di areal KP Soga I & II dengan AMDAL yang bermasalah. Hal ini dituturkan dengan jelas oleh Kepala BAPEDALDA, “Kami sudah panggil dia (Perusahaan Sumber Jaya Asia, Red) dua minggu lalu. Ternyata dia punya dokumen AMDAL belum ada laporan. Sudah dipanggil dan saya bilang you revisi AMDAL karena tidak sesuai dengan ketentuan. Mereka sudah buat AMDAL, tetapi prosedurnya tidak ditempuh, step by step by stepnya itu. Perbaiki dokumen ini sesuai dengan aturan yang ada”. Di sini terasa aneh bahwa Perusahaan mengantongi izin padahal AMDALnya bermasalah. Mestinya KP baru diberikan setelah AMDALnya beres.
IV
TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP KEHADIRAN INDUSTRI PERTAMBANGAN
Émé manga ata kudut rampas tana
purak mukang wajo kampong,
Ro’éng Manggarai pulung kudut ta’ang lawa mata agu mosé
(Jika ada orang yang ingin merampas tanah air dan kampung halaman,
Orang Manggarai melawannya sampai titik darah penghabisan,
mati atau hidup)
Berdasarkan investigasi di lapangan, pemahaman masyarakat di Lingkar tambang atau masyarakat yang tanahnya dijual atau diserahkan untuk kepentingan industri pertambangan sangat minim. Bagaimana pertambangan itu masuk, bagaimana proses masuknya, apa yang harus dilakukan masyarakat, apa tanggung jawab perusahaan, sama sekali tidak dipahami oleh masyarakat, sebagaimana dituturkan Fransiskus (Tua adat Golo Rawang, mantan Kepala Desa Tengku Lawar): “tidak ada Pemerintah yang datang ke sini untuk menjelaskan bahwa ada mangan di Rawang. Pernah memang Pa’ camat Adi Empang untuk membicarakan ‘anak molas neni (mangan) di bukit Rawang. Tahun 1985 ada orang Bandung yang datang ke Kepala Desa (saya sendiri, mereka datang menggalih lubang....kami tidak tau apa artinya pilar yang ditanam oleh Perusahaan. Ada beberapa dan kami tidak tahu berapa banyak. Ada lubang besar di sana. Mereka dua minggu di Kampung Rawang. Pada saat itu Pemerintah tidak datang ke sini”.
Banyak kali masyarakat menerima begitu saja apa yang sudah diputuskan oleh perusahaan atau pemerintah. Ketidakpahaman masyarakat ini kadangkala disalahgunakan oleh pihak perusahaan untuk dengan mudah meminta persetujuan dari masyarakat. Perusahaan umumnya menolak untuk secara gamblang menjelaskan dampak-dampak pertambangan kepada masyarakat. ”Tahun 2007, Pa’ Adi empang, Yan Ngare(dari pihak Pemerintah) dan Putu (dari pihak perusahaan) datang untuk sosialisasi di Golo Rawang. Isi pembicaraan adalah mereka datang dalam rangka memberitahu untuk mengambil mangan di Golo Rawang. Mereka tidak omong tentang dampak pertambangan. Masyarakat sendiri memang pernah mengangkat persoalan dampak lingkungan dari pertambangan saat pertemuan itu. Jawaban mereka, kita akan bicarakan itu pada saatnya dan mencari jalan keluarnya”, jelas Frans Tuus, anak Tua Adat Rawang.
Namun tidak berarti masyarakat tidak mengerti tentang dampak pertambangan bagi kehidupan mereka saat ini dan terlebih bagi generasi yang akan datang. Silvester Kaniba (26), seorang petani di Gumbang, Desa Riung, Kecamatan Cibal, tegas menolak memberikan tanahnya kepada perusahaan untuk dikeruk oleh perusahaan tambang: “Tanah ini adalah tanah warisan saya, saya sendiri sejak dulu tidak mau menyerahkannya kepada perusahaan karena saya tidak mau tanah saya rusak. Yang saya tanam di sini Jati dan jambu mete. Saya tidak mau memberikan tanah saya. Karena merusak tanah, dan kapan lagi saya menanam tanaman untuk anak-anak saya. Kadang memang ada pemerintah yang mengancam kami karena tidak mau memberikannya. Sudah dua kali orang mangan datang, tapi selalu gagal karena tempat punya saya tidak dikasih. Sayalah yang selalu menggagalkan setiap kali perusahaan mangan datang ke sini. Sampai saya dulu mengejar kepala dusun. Karena dia bilang pada saya kamu hasil padi itu sangat sedikit. Saya bilang, biar sedikit karena saya sudah mengangkat sumpah atas padi sebelum ditanam”, tegas Silvester. Dari dahulu hingga sekarang masyarakat kecil selalu mempertahankan tanah warisan leluhurnya. Seperti halnya Nabot – yang tanahnya dirampas - dalam kisah I Raja-Raja 21:1-29. Nabot dalam kisah itu, membela tanah warisan leluhurnya dari caplokan Raja Ahab. Modal dan kekuasaan selalu menjadi mimpi buruk dalam kehidupan masyarakat kecil.
Masyarakat kecil sesungguhnya tidak mau menyerahkan dan menjual tanah mereka untuk dijadikan industri pertambangan karena mengingat generasi berikutnya yang membutuhkan tanah, kebun sebagai sumber kehidupan mereka. Menjual tanah berarti mereka menjual kehidupan dan masa depan kehidupan anak-cucu, dan membiarkan generasi berikutnya hidup dalam penderitaaan dan kemiskinan. Inilah yang disebut dengan ketidak-adilan antar generasi. “Kami semua tua adat satu kata, pika poe. Kami tidak mau beri, karena kalau beri, bagaimana dengan anak cucu kami. Di mana mereka mau tanam padi, jagung untuk makan anak cucu kami”, tegas Tua adat Timbang, yang wilayahnya pernah dieksploitasi tahun 1996-1997 dan saat ini ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Nada yang sama ditegaskan oleh tokoh muda Timbang, Ben Madur: “Semua masyarakat berpikir seperti itu. Kami orang muda juga sama dengan cara pikir tua adat. Sekarang orang tua kami terima uang itu, tetapi bagaimana kami dengan anak-anak kami. Datang mereka cari makan. Kalau kami tanam tanaman di tempat itu, apakah jadi kalau mereka gali mangan. Sama dengan pikiran orang tua tadi, pika poe,” tandasnya.
Selain itu masyarakat pun tahu bahwa industri pertambangan akan membawa dampak pada kerusakan sumber-sumber kehidupan mereka: hutan, tanah dan sumber air mereka. Dan karena itu mereka tegas menolak kehadiran tambang di wilayah mereka. “Pertambangan sebenarnya banyak yang nantang karena dampaknya banyak. Waktu itu tim datang karena daerah mendukung itu. Kalau saya pikir tambang terbuka ini sangat merugikan. Tambang di atas kan berada di dalam wilayah hutan, jelas hutan itu rusak luka parah. Memang ada istilah dari pemerintah bahwa suatu waktu perusahaan itu reboisasi lagi, tapi tidak seperti aslinya”, kata Mikael Encok, warga Desa Robek, Mantan Kepala Desa.
Kekuatiran masyarakat ini pernah mereka sampaikan kepada pihak pemerintah lewat surat. Tetapi sampai sekarang pemerintah tidak memberikan tanggapan atas keluhan mereka. “Sejak masuk 2004 masyarakat sudah berkumpul dan sebetulnya masyarakat tidak setuju di satu pihak kalau dari segi lingkungannya. Tapi kami lebih banyak berpikir kalau hal seperti ini banyak merugikan masyarakat ke depannya, kenapa pemerintah mengijinkan. Di sinilah tabraknya dengan masyarakat. Yang kami pikirkan adalah kerusakan pariwisata. Walaupun masyarakat berteriak, tapi kalau pemerintah sudah bilang, mau bilang apa lagi”, lanjut Mikael Encok.
Masyarakat juga menyadari bahwa industri pertambangan tidak bertahan lama dan tidak memberikan jaminan masa depan untuk anak cucu mereka karena efeknya yang merusak dan menghancurkan lingkungan. Masyarakat justru menyadari bahwa pertanian, nelayan merupakan pekerjaan yang memberi masa depan walaupun hasilnya tidak selalu mencukupi kebutuhan hidup mereka seperti yang terujar dari mulut seorang petani dan nelayan yang tidak mau menyebutkan namanya dan tinggal dan hidup di sekitar lokasi prosseing di PT Arumbai Mangabekti: “Saya sendiri merasa lebih baik menjadi petani dan nelayan. Sebab kalau saya bekerja di perusahaan saya bisa lupa pekerjaan pokok menjadi petani. Pekerjaan di perusahaan hanya sementara untuk belanja. Tetapi untuk masa tua ya…menjadi petani. Saya berpikir untuk masa tua saya dan anak-anak saya. Saya tidak mau kerja di perusahaan membuat saya sakit. Sebab sakit ia datang sedikit demi sedikit sehingga saya lebih baik bekerja sebagai petani walau hanya untuk bisa untuk membeli gula dan minyak tanah. Sebagai nelayan…saya merasa ada perbedaan saat dulu sampai sekarang. Sejak kelas tiga SD, saya sudah menjadi nelayan. Bagi saya kalau aman laut pasti tangkapannya banyak, tapi sekarang tidak banyak ‘ jelasnya.
Atas dasar kesadaran seperti itulah maka ada sebagian dari masyakarat yang bekerja di perusahaan tambang berhenti bekerja di perusahaan tambang dan melanjutkan pekerjaannya sebagai petani yang menjamin masa depannya tanpa harus merusak tanah secara permanen seperti yang terjadi di industri pertambangan.”Saya pernah kerja di perusahaan Arumbai, tapi sekarang saya berhenti. Karena di sini ada pekerjaan pokok pencarian kami yaitu bertani dan nelayan. Ketika perusahaan ini datang, bila ada kerjaan di perusahaan kami baru ke sana. Tapi kami berpikir, apabila kami hanya bekerja di perusahaan bagaimana hidup kami ke depannya. Sehingga dua tahun lalu saya memutuskan untuk tidak bekerja di perusahaaan lagi dan mulai berkebun lagi dan saya diganti oleh istri saya. Saya juga berhenti karena saya juga berpikir tentang anak-anak saya kemudian. Potensi yang ada di sini: hutan, padi, mete, pisang, kelapa. Ini pun tergantung dari kami, kami mau tanam apa’’, kata Siprianus Amon, mantan pekerja di Arumbai, berhenti bekerja, mau jadi petani.
Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat sebenarnya menyadari akan dampak merusak yang dilakukan oleh industri pertambangan. Lebih dari itu mereka juga tahu akan hak mereka atas tanah yang mereka miliki. Dan atas dasar itulah mereka menyatakan penolakan mereka. Tetapi di hadapan pemerintah dan pemodal mereka tidak bisa berbuat apa-apa. “Sebetulnya masyarakat tidak setuju dengan pertambangan ini. Yang kami pikirkan adalah kerusakan pariwisata. Walaupun masyarakat berteriak, tapi kalau pemerintah sudah bilang, mau bilang apalagi?”, demikian Mikael Encok, Petani, Warga Robek.
Nada penolakan dari masyarakat seperti ini seharusnya diketahui oleh Pemerintah. Masyarakat jangan dibiarkan menanggung sendiri beban penderitaan yang akan dituai di kemudian hari. Sebab di dalam nada penolakan itu tersimpan ketakutan akan datangnya penderitaan yang menimpa mereka. Sumber kehidupan mereka hilang dan mereka menginginkan wilayah tempat mereka hidup selalu menawarkan dan memberikan keindahan sehingga bisa dinikmati oleh semua orang sekarang dan di masa mendatang. “Masyarakat sudah berkumpul, alasannya kayu habis, dan menginginkan pariwisatanya tetap asri. Banyak trumbu karang yang rusak akibat bahan peledak. Di sini juga ada aliran air persis di daerah pantai. Sama seperti manusia, walaupun dia gagah, tapi kalau sudah rusak tidak cantik lagi, begitu juga hutan. Kami pernah kirim surat dari desa ke bupati (2006-2007), isinya kami merasa resah akan kehadiran tambang. Belum ada jawab dari atas” tandas Mikael Encok, Mantan Kepala Desa Robek.
Dari tanggapan-tanggapan masyarakat ini menjadi jelas bahwa klaim Pemerintah dan Perusahaan bahwa masyarakat menerima kehadiran pertambangan tidak seluruhnya benar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang tidak tahu-menahu tentang kehadiran tambang di wilayah mereka bahkan tidak paham tentang seluk-beluk pertambangan. Tiba-tiba dikejutkan oleh pengambil-alihan tanah, “lingko” mereka oleh perusahaan. Perusahaan tambang ibarat ”tamu yang tidak diundang dan tak menghargai tuan rumah yang didatanginya”. Seolah-olah tanah Manggarai tidak bertuan.
V
DAMPAK NYATA INDUSTRI PERTAMBANGAN
DI KABUPATEN MANGGARAI
“Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela,
ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian,
hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi
yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
(Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945)
Ada beberapa hal yang bisa kita perlihatkan terkait dampak langsung dari sebuah industri pertambangan khususnya di kabupaten Manggarai:
1. Kerusakan terhadap lingkungan dalam skala besar (dampak ekologis). Hal ini menyangkut kerusakan terhadap tanah, rusaknya ekosistem hutan, tercemarnya air, hilangnya sumber mata air, rusaknya ekosistem sekitar lokasi tambang, terutama laut yang menjadi tempat pembuangan limbah dan efek bahan-bahan peledak yang dipakai, sambil bencana yang akan menyusul seperti banjir, longsor, kemarau panjang, dan kebakaran hutan. Ditilik dari sisi ekonomis, ongkos untuk memulihkan bencana kerusakan atau bencana lingkungan jauh lebih mahal ketimbang pendapatan daerah dari pertambangan. “costnya lebih besar dari delapan puluh juta, tetapi cost sosialnya tinggi sekali, dan lingkungan hidup terancam. Kalau hitung pendapatan petani yang hilang, katakanlah 10 lingko, berapa orang di situ, berapa dia punya pendapatan per tahun?”, tegas Wakil Bupati Manggarai, Dr. Kamilus Deno, SH, MM.
- Dari kenyataan yang ada di lokasi pertambangan Kabupaten Manggarai, kerusakan tanah nampak melalui lubang-lubang bekas galian yang dibiarkan menganga begitu saja setelah perusahaan pergi. Janji reklamasi yang disepakati oleh perusahaan tidak ditepati. Kalaupun direklamasi, dari segi guna tanah lokasi-lokasi bekas pertambangan tidak layak untuk aktivitas pertanian. Inilah yang terjadi dengan masyarakat desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, semenjak kehadiran PT. Arumbai Mangabekti beroperasi di wilayah itu. Tanah Lingko masyarakat yang dulu menjadi tempat bergantungnya hidup dengan tanaman perkebunan rakyat, kini tinggal lubang-lubang yang menganga lebar, dan meyerupai danau karena digenangi lumpur hitam dan air ketika musim hujan. Ini tentu beresiko banjir dan longsor yang akan menimbulkan bencana yang tentu tidak sedikit untuk masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Tanah-tanah pertanian perkampungan sekitar, seperti Luwuk dan Lengko Lolok pun ikut tercemar akibat limbah tambang yang mengenai tanah, lokasi pertanian, dan sumber air masyarakat.
- Selain dampak pencemaran atas tanah, pertambangan di Kabupaten Manggarai juga menyebabkan rusaknya kondisi dan ekosistem hutan. Hutan menutupi hampir 39,80 % (sebelum pemekaran Manggarai Timur) kawasan Kabupaten Manggarai. Dari 39,80 % itu, 30,2 % merupakan kawasan hutan lindung, 1 % untuk kawasan hutan cagar alam, dan 23,7 % untuk taman nasional (Walhi, 2003:10-11). Yang menyedihkan, lokasi pertambangan di Kabupaten Manggarai persis menempati salah satu lokasi kawasan hutan lindung, yang tentu menjadi ancaman ekologis sangat serius. Lokasi pertambangan di Soga 1 dan 2, daerah Torong Besi, Kecamatan Reok yang dieksploitasi oleh PT. Sumber Jaya Asia (dokumen lain menyebutkan PT. Soga) melakukan kegiatan pertambangan persis di kawasan hutan lindung ini dalam RTK 103. Masuknya pertambangan, pertama-tama terjadi alihfungsi hutan secara besar-besaran. Kawasan hutan lindung di sana, yang berfungsi sebagai penyangga dan penyeimbang kehidupan, terjaganya keanekaragaman hayati (biodiversity), penyeimbang iklim dan juga merupakan pendukung perkonomian masyarakat sekitar, tinggal kenangan yang tak akan pernah kembali lagi, semenjak industri “keruk” pertambangan masuk ke sana. ”Frans Dula Burhan (Mantan Bupati Manggarai,red.) bilang, itu hutan tutupan, lingko Soga itu hutan tutupan, yang bilang itu pemerintah, di sana ada mata air. Kami kecewa karena selama tiga tahun bekerja di situ mendapatkan hasilnya, tiba-tiba pemerintah bilang ini lingko dalam pal. Karena merasa bodoh, kami ikut saja. Di dalamnya ada kayu, jagung dan padi. Yang kami pikir sekarang kami ditolak padahal kami bekerja di dalam bukan untuk menghancurkan tanah dan untuk mengambil hasil dan kami bisa menghutankan kembali tanah itu”, demikian kata Suri, Kepala Adat Gincu, Robek.
- Selain itu, limbah industri tambang, seperti yang ada di Bonewangka (PT. Sumber Jaya Asia), daerah Torong Besi, Kecamatan Reok, sudah mencapai pemukiman penduduk dan laut. Resiko longsor ketika musim hujan dapat merusak dan mengancam pemukiman penduduk.
- Dampak ekologis lanjutan dari industri pertambangan di Kabupaten Manggarai juga menyangkut rusak dan terganggunya ekosistem laut. Beberapa lokasi pertambangan yang ada, yang dieksploitasi oleh PT. Arumbai, Tribina, Sumber Jaya Asia berada sangat dekat dengan laut, dan sudah barang tentu, limbahnya dibuang ke laut. Hal yang jelas menyangkut ini terjadi di sekitar lokasi pertambangan Torong Besi, Desa Robek, Kecamatan Reok, dan Satar Punda, Kecamatan Lambaleda. Tragisnya lagi, di desa Robek ini terdapat satu lokasi pantai pasir putih yang menjadi pusat obyek wisata bahari, yaitu pantai Ketebe. “Kalau dari masyarakat paling tidak setuju kegiatan pertambangan ini, sebab kalau pemboran sampai 60 m ke dalam, bukan tidak mungkin bibir pantai akan habis pa. Mangan itu sampai di pinggir pantai. Soga 4 itu ada di dekat tanjung. Masyarakat merasa rugi, kalau kelestarian laut rusak, jelas tamu-tamu tidak akan masuk. Di pantai Ketebe itu, juga ada ikan hias dan taman laut yang sangat indah, ada juga bambu laut,” demikian penuturan Bapak Kepala Desa Robek. Demikian juga dengan kondisi Laut, seperti yang terjadi di Robek, lokasi tambang dekat sekali dengan pantai pasir putih yang menjadi tempat wisata bagi wisatawan asing. ”Tapi begini Pa, kita juga saling tumbuk meja di kantor desa dengan pihak-pihak berwajib dari Ruteng itu. Citra Robek ini sudah baik. Apakah turis-turis masih bisa datang? Karena ledak sini ledak sana, apakah para turis masih mau datang ke sini? Bagaimana caranya untuk menghindari ini?”, ujar Pius Domo, Petani, Warga Gincu, Desa Robek. ”Juga trumbu karang rusak akibat bahan peledak,” tutur tambahan Mikhael Encok, Petani, Mantan Kepala Desa Robek 1983-1994. Potensi ikan dan rumput laut yang ada tentu akan sangat terganggu dan tercemar sebelum akhirnya sirna.
2. Dampak kesehatan dengan hadirnya pertambangan di Kabupaten Manggarai menjadi cerita pilu. Warga Sirise merupakan kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung dan paling parah dari hadirnya industri pertambangan di Kabupaten Manggarai. Debu-debu mangan sudah menyebar ke mana-mana, bukan saja para buruh dan masyarakat sekitar lokasi tambang, melainkan juga masyarakat kampung tetangga. Tanaman dan rumah mereka tertutup oleh lapisan debu berwarna hitam (mangan). Mereka juga tidak bisa menyimpan makanan dalam rumah. Meskipun ditutup, dalam waktu 10 menit makanan itu akan berubah menjadi hitam. Lepas dari itu, tambang di Sirise ini juga menyebabkan tercemarnya air minum warga. Hujan deras telah menghanyutkan limbah mangan dari tempat penampungannya dan limbah itu mengalir ke sumur-sumur milik warga setempat. Pencemaran debu mangan telah membawa korban nyawa. Ada beberapa kejadian kematian warga disinyalir oleh karena pencemaran debu mangan ini, terutama kerena menyerang ke saluran pernapasan. “Saya sudah tidak ingat lagi, hari dan tanggal ketika papa pulang sudah jadi mayat ke rumah. Yang saya ingat, peristiwa itu terjadi bulan Desember 2005. Paginya, papa pamit untuk berangkat kerja ke Sirise. Siang harinya, papa kembali ke rumah, dalam keadaan sudah jadi mayat diantar oleh pegawai PT. Arumbai. Kami sekeluarga semua kaget. Sebelumnya memang papa sering batuk dan sering mengeluh sakit dada bagian kiri,” demikian pengakuan dari Florida Novita Mon, 14 tahun, anak dari Yosef Mon, buruh tambang mangan yang meninggal di Pertambangan Mangan Arumbai. “Sudah banyak warga di Sirise ini yang menderita sakit batuk, sesak napas, dan bahkan ada yang sampai batuk serta WC berdarah. Diduga, kondisi kesehatan seperti ini akibat warga menghirup udara yang sudah tercemar dengan debu limbah mangan. Apalagi air sumur yang menjadi sumber air minum sebagian warga Sirise, juga ikut tercemar karena kemasukan debu limbah mangan,” lanjut Jahudin, warga desa Sirise, lokasi pertambangan PT. Arumbai. Lain lagi kesaksian Kepala Desa Robek, Mikhael Ada: “dulu ada beberapa masyarakat yang meninggal yang kerja di Arumbai. Mantan kepala desa satu dulu. Kalau mereka batuk, ada warna hitam di lendirnya. Yang kedua, dari Racang, saat PT. Arumbai: batuk dan lendirnya hitam. Gejalanya panas tidak turun-turun lalu meninggal, keluar dahak campur hitam.”
Peringatan akan dampak negatif pertambangan mangan pernah diingatkan oleh Sr. Vergula, SSpS, sebagaimana dituturkan oleh Pius Domo: “Kamu ini datang ke sini hanya mau memusnahkan masyarakat di sini saja. Tolong siapkan obat dan masker”. Dalam situasi tak menentu dan mencekam ini karena adanya korban nyawa yang tidak sedikit, Ibu Nelly, salah seorang warga masyarakat Lingkololok, Kecamatan Lambaleda, yang bekerja di PT. Arumbai Mangabekti, dengan lantang berkata: “Dulu kami bisa hidup sehat dan panjang, tetapi sejak perusahaan Bapak datang, hidup kami tidak bisa panjang dan sehat lagi.”
3. Dampak lain yang bisa dilihat dengan hadirnya pertambangan di Kabupaten Manggarai adalah soal-soal Sosial – Budaya. Beberapa hal yang menjadi soal dalam lingkup sosial budaya antara lain adalah rentannya konflik horizontal di antara masyarakat, maupun konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah setempat, dan juga kemungkinan konflik antara masyarakat lokasi tambang dengan pihak perusahaan, atau juga antara pihak perusahaan dengan karyawan. Klaim pemilikan tanah di antara para tuan tanah menjadi persoalan tersendiri, yang bukan tidak mungkin menjadi potensi konflik di antara para pemilik tanah ulayat. Belum lagi dengan keturunan para tuan-tuan tanah tersebut. Di antara masyarakat sekitar lokasi tambang pun, kemungkinan konflik bisa saja terjadi di antara kelompok pro tambang dan kontra tambang; kelompok yang diuntungkan oleh industri tambang dengan kelompok yang merasa dirugikan oleh industri tambang. Selain itu konflik horizontal dan vertikal seperti ini, juga akan sangat rentan terjadi manakala ada relokasi pemukiman penduduk ke tempat lain. Bukan saja mereka akhirnya menjadi “orang asing”, tetapi juga akan timbul konflik antara para pendatang baru dengan penduduk setempat. Perebutan sumber daya alam di tempat baru menjadi potensi konflik yang setiap saat bisa saja muncul. Hal ini misalnya dikuatirkan terjadi di daerah Rawang, yang sudah ada potensi mangan di bawah tanah “kampong.” Rencana relokasi kampong sudah ada, dan bahaya sosial yang lebih parah sudah siap menanti. Selain itu, ada soal sosial besar lain yang nampak nyata dari industri pertambangan di Kabupaten Manggarai yaitu eksploitasi buruh besar-besaran. Ada beberapa fakta yang sungguh menunjukkan bagaimana para karyawan atau buruh perusahaan tambang diperlakukan secara tidak layak untuk sebuah standar karyawan di perusahaan tambang yang penuh resiko itu. Pertama, menyangkut tidak adanya jaminan kesehatan dari perusahaan terhadap karyawan yang sakit. “Kami mengeluarkan biaya untuk berobat seperti batuk-batuk,” ujar seorang pekerja harian. Kedua, menyangkut keselamatan kerja. Yang dimaksudkan adalah kurang memadainya peralatan kerja untuk keselamatan buruh tambang. Peralatan kerja seperti masker dan sepatu tidak disediakan oleh pihak perusahaan, padahal ini sangat riskan bagi kesehatan mereka. Ketika pekerja meminta sepatu, maka pekerja dikenakan lagi biaya penyewaan sepatu 10.000 per hari. Belum lagi, masalah gaji yang tidak cukup untuk tuntutan kerja yang berat dan penuh resiko; di mana upah harian buruh-buruh tambang ini mencapai angka kira-kira Rp. 26.000 sampai Rp. 27.000 per hari. Lalu kalau tidak masuk karena sakit lebih dari 3 hari maka gajinya dipotong. Soal ini erat kaitannya dengan kebijakan JAMSOSTEK. ”Baru-baru ini, kami sudah ajukan 17 nama untuk JAMSOSTEK (karyawan tetap)....jadi memang ada yang mempersoalkan; ada yang masuk sama, tidak diusulkan untuk JAMSOSTEK”, tutur Libertus Magung, Manajer PT Sumber Jaya Asia. ”Di sini juga ada program JAMSOSTEK khusus yang bulanan. Semua yang bulanan dapat JAMSOSTEK”, lanjut Libertus Magung. Berkaitan dengan JAMSOSTEK, ada perbedaan pemahaman antara perusahaan dan buruh. JAMSOSTEK hanya untuk buruh bulanan, sedangkan buruh harian hanya mendapat gaji harian, tanpa JAMSOSTEK. Di tempat lain, JAMSOSTEK hanya untuk karyawan tetap, dan itu pun masih dipilih-pilih sehingga tidak semua karyawan tetap mendapatkannya. Hal ini bertentangan dengan amanat UU nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pasal 1 ayat 1: ”Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia”. Pada ayat 2 dikatakan bahwa ”tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”. Jaminan tenaga kerja dalam peristiwa kecelakaan dinyatakan dalam pasal 8: ”Tenaga kerja yang tertimpah kecelakaan kerja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja. Termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun tidak”. Artinya, amanat Undang-undang ini menekankan bahwa jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK) merupakan hak dari tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan atau usaha perorangan dengan menerima upah termasuk tenaga harian lepas, borongan dan kontrak. Karena itu, tidaklah tepat argumentasi PT. Sumber Jaya Asia menerapkan aturan JAMSOSTEK yang hanya untuk pekerja bulanan dan tidak untuk semua. Untuk pekerja bulanan pun tidak semuanya mendapatkan JAMSOSTEK dari Perusahaan penambangan mangan Bonewangka.
4. Selain problem sosial, problem budaya juga akan muncul, misalnya benturan budaya antara orang-orang asing dengan orang-orang lokal, pihak investor dengan masyarakat lokasi tambang. Hal itu menyangkut bahasa dan beberapa aspek budaya yang lain. Seperti dituturkan oleh Libertus Magung Manajer Perusahaan Sumber Jaya Asia, dengan komposisi 119 orang karyawan lokal dan 30 tenaga asing; ada kesulitan komunikasi antara orang asing dengan orang-orang lokal kita. Benturan budaya bukan tidak mungkin menjadi pemicu terjadinya konflik juga. Selain itu, masalah budaya juga menyentuh beberapa aspek dari kearifan budaya lokal yang sudah lama ada. Situs-situs budaya banyak yang terancam. Hilangnya lingko tentu menyebabkan hilangnya fondasi seluruh tatanan hidup serta ritual-ritual adat Manggarai sebagaimana terlihat berikut ini.
5. Berikut ini menyangkut pemahaman orang Manggarai tentang dirinya dan alam lingkungannya, yang secara substansial amat ekologis. Ada kesatuan antara kehidupan masyarakat dengan tanah dan seluruh kosmos, sebagaimana terungkap dalam (ungkapan kiasan go’ét-): “Gendang’n oné, lingko’n pé’ang; waé téku, compang dari; tana’n wa, awang’n éta; jéngok lé ulung, wiko lau wa’i; par awo, kolep salé (Rumah adat dan kebun adat, sumber air dan altar korban, bumi dan langit, hulu dan hilir, terbit dan terbenamnya matahari)”. Keutuhan dan kesempurnaan hidup orang Manggarai terpintal dalam harmoni kosmik seperti ini. Inilah yang persis akan dipertaruhkan, ketika orang Manggarai kehilangan salah satu atau sebagian dari keseluruhan tatanan kosmik ini. Religiositas orang Manggarai bertumpu dan bersumber pada visi diri dan lingkungan yang amat kosmik dan ekologis. Ketika hal yang substansial ini terancam punah, maka kearifan-kearifan hidup orang Manggarai pun juga akan punah. Pertama, menyangkut alam kebersamaan. Orang Manggarai senantiasa melihat dirinya dalam hubungan dengan orang lain. Hal ini terungkap dalam ungkapan kiasan seperti ini: “muku ca pu’u néka woléng curup, téu ca ambo néka woléng jangkong, ema agu anak néka woléng bantang, asé agu ka’é néka woléng taé.” (Pisang sepohon jangan lain omong, tebu satu rumpun, jangan lain tutur; ayah dan anak jangan lain sepakat; kakak dan adik jangan lain kata.” Pembentukan kampung juga menyangkut cara berpikir sosial-kolektif. Kampung tradisional di Manggarai umumnya berbentuk lingkaran, di mana terdapat sebuah Mbaru gendang/Mbaru tembong (rumah adat kolektif), sebuh Natas (halaman kampung), sebuah Pa’ang (gerbang kampung), dan sebuah Compang (altar korban). Akankah kearifan lokal ini tetap lestari, dengan hadirnya industri pertambangan yang masuk ke dalam sakralitas budaya Manggarai, yang memperlakukan tanah Manggarai secara semena-mena? Selain itu kearifan orang Manggarai menyangkut juga harmonisasi antara Manusia – Alam – Dunia Adikodrati. Hal ini nampak dalam beberapa acara adat seperti Penti (perayaan syukur pasca-panen), yang melibatkan seluruh warga kampung dan bersama-sama mengantar sesajen kepada roh-roh pelindung kampung, roh-roh nenek moyang yang secara bersama dilakukan di Mbaru Gendang (rumah adat kolektif). Harmonisasi ini akan punah mengingat pertambangan sedikit demi sedikit mengeruk dan menggusur tanah-tanah, yang oleh orang Manggarai tidak hanya dipahami dari aspek ekonomi saja, sebagai penyedia kebutuhan manusia, melainkan sebagai warisan leluhur. Tanah dalam kosmologi Manggarai adalah simbol kehidupan dan identitas manusia Manggarai. Hilangnya tanah (lingko) berarti hilangnya identitas dan dasar berada (raison d’etre) orang Manggarai.
6. Terakhir menyangkut dampak ekonomi. Dari segi ekonomi, hadirnya industri pertambangan di Kabupaten Manggarai diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal dan dengan demikian ada penghasilan untuk buruh-buruh lokal kita. Pemerintah daerah pun mengharapkan ada kontribusi PAD yang signifikan dari sektor pertambangan ini. Apakah harapan ini telah menjadi kenyataan? Simak fakta berikut ini. Pertama, pertambangan tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal, seperti yang dikatakan oleh Pius Pagur, seorang operator alat berat di PT. Sumber Jaya Asia, di Bonewangka: “tenaga kerja kebanyakan orang China, mulai dari kuli, operator sampai gudang semua orang China. Padahal, masih banyak tenaga pengangguran di wilayah kita ini. Koq, bisa begini?” Kedua, menyangkut upah buruh. Apakah pertambangan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tingkat upah yang cukup? Fakta menunjukkan, bahwa upah buruh tidak mencukupi kebutuhan buruh dan keluarganya. Lagi-lagi Pius mengeluh: “Kami sedih dengan tingkah perusahaan seperti upah gaji di bawah standar. Sebagai operator alat berat saja, saya merasa gaji rendah, karena tidak mencukupi kebutuhan anak istri. Kalau tidak masuk kerja, gaji dipotong. Sakit pun dipotong. Izin pun dipotong, sementara harga BBM naik”. Fakta lain menunjukkan bahwa warga di sekitar tambang miskin dan tidak diperhatikan oleh Perusahaan pertambangan. “Saya tinggal di sini sudah tiga tahun lebih. Saya pendatang, suami saya dari sini. Suami saya bekerja di perusahaan sebagai buruh harian dengan upah Rp. 27.000 per hari. Di sini memang bising sekali, khususnya di daerah procesing, tetapi mau bilang apa? Ini ‘kan bukan kita punya tempat. Ana-anak saya larang bekerja di atas (pusat penggalian Bone Wangka, red). Kami tidak pernah mendapat bantuan dari perusahaan selama di sini. Di sekitar ini ada tempat pembuangan mandi mereka di dalam (Base-camp, red), alirannya langsung ke laut dan pengaruhnya untuk kami adalah bau kotoran. Kami pernah bilang ke pegawainya, dan pegawainya bilang akan disampaikan kepada bos, makanya mereka menggali got di sana itu ”, kata Nikmata, isteri dari seorang buruh tambang, tinggal di Torong Besi. Fakta ini memperlihatkan bahwa pengembangan masyarakat di sekitar tambang (community development) tidak terealisasi, selain daripada proyek-proyek kecil pelipur lara. Secara ekonomis, pertambangan di Kabupeten Manggarai tidak memberikan keuntungan, tetapi malah membawa kerugian yang tidak sedikit.
Demikian juga harapan untuk kontribusi untuk PAD Kabupaten Manggarai. Dari 9 sektor pendapatan Kabupaten, industri pertambangan menempati urutan 7, dengan angka 2 % dari total pendapatan daerah Kabupaten Manggarai. Padahal, industri ini merusak banyak, tetapi memberi sangat sedikit. Perhitungan ekonomis, dengan rasio perbandingan keuntungan yang diambil perusahaan dengan pajak untuk daerah dan kerugian di tingkat masyarakat dan secara tidak langsung pemerintah daerah, terdapat kesenjangan yang sangat besar.
Mengingat dampak-dampak yang diajukan di atas, maka amatlah tepat dan perlu didukung niat Pemeritah Kabupaten Manggarai untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan Perusahaan pertambangan yang sedang beroperasi hingga saat ini dan terbukti merugikan masyarakat dan lingkungan hidup: ”Kita evaluasi yang ada dulu. Itulah langkah-langkah yang sudah dilakukan Pemerintah dalam kurun beberapa tahun terakhir ini”, tekad Drs. Christian Rotok, Bupati Manggarai. Senada dengan itu, Wakil Bupati, Dr. Kamilus Deno, SH, MH mendesak agar evaluasi tersebut dilakukan secepatnya: ”Berkaitan dengan perijinan pertambangan itu kita verifikasi ulang, dalam catatan lebih pada soal-soal detail dan orang kita juga aman, rakyat juga hidup. Jadi saya setuju verifikasi. Orang pertambangan juga harus menerima informasi yang obyektif. Kalau bisa minggu depan, jangan terlalu lama lagi, tambang harus siap membawa semua laporan mereka”.
Komitmen Pemerintah Kabupaten Manggarai tidak hanya terkait dengan evaluasi, tetapi bahkan berniat sungguh untuk menghentikan perijinan kuasa pertambangan (KP). ”Dalam kaitan dengan itu, Pater ya, untuk sementara saya bilang ke Pa’ Maksi, Pa’ Maksi kita cukupkan saja investor, kita evaluasi yang 17 ini. Kalau mereka serius jangan sampai kita memberi ijin habis semua, bagaimana kalau mereka memperluas usahanya, masya, kita jual itu lokasi. Itu persiapan, kalau mereka bagus mungkin dari 17 ini yang serius berapa. CUKUP SUDAH! Kalau ada yang datang, bilang, potensi habis.....kita stop dulu yang ada. STOP DULU KITA KASIH IJIN!”, tegas Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, di hadapan Tim investigasi.
Setelah mengikuti alur kisah kehadiran, proses, kebijakan, manfaat, dampak (positif dan negatif) secara sosial, ekonomi, budaya dan religius, dari perusahaan-perusahaan pertambangan yang kini sedang mengeksploitasi perut ‘ibu pertiwi’ Manggarai, berikut ini kami ingin menyampaikan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi.